FENOMENA KONSTRUKTIVISTIK DALAM METODE AL-BARQI OLEH MUHAJIR SULTHON



A.    PENDAHULUAN
Metode adalah suatu cara yang sistematis untuk mencapai tujuan, yaitu untuk menyampaikan sebuah materi kepada anak didik. Ada beberapa cara yang dilakukan dalam menyampaikan baca tulis al-Qur’an, pada dasarnya semua metode yang digunakan adalah agar anak bisa menyenangi materi yang diberikan dan agar anak suka belajar.
Seperti yang telah diketahui bahwasannya di Indonesia banyak terdapat metode-metode yang digunakan dalam rangka pembelajaran Al Qur’an. Misalnya; metode Qa’idah Baghdadiyah, metode Jibril, metode Iqra’, metode Qiro’ati, metode Al Barqy, metode Tilawati, dan masih banyak lagi yang lainnya. Maka tugas seorang pendidik, guru, ustadz/ustdzah-lah untuk menentukan metode yang tepat agar peserta didik dapat lebih mudah untuk belajar baca tulis Al Qur’an.
Adapun metode yang dimaksud dalam tulisan ini adalah metode al-Barqy. Metode ini sifatnya bukan mengajar, tetapi hanya mendorong hingga guru hanya sebagai tut wuri handayani (fasilitator).[1] Murid dianggap telah memiliki persiapan dengan pengetahuan tersedia. Prinsip ini senada dengan salah satu prinsip dasar dan karekteristik dari model belajar konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan ataupun pengertian dibentuk (construct) oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis bermaksud mencoba menggali dan mengungkap fenomena konstruktivistik dalam metode al-Barqy oleh Muhajir Sulthon.

B.     TEORI KONSTRUKTIVISME
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. Ia dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya konstruksionisme. Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subyek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Peaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru.[2]
Konstrukstivisme beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) diri kita sendiri oleh karena  itu Suparno (1987) menyatakan bahwa pengetahuan ataupun pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka. Pengetahuan tidak bisa diterima secara pasif dari guru mereka. Pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (subyek belajar) karena pengetahuan bukanlah barang yang dapat ditransfer dengan mudah dari pikiran seseorang kepada orang lain, subyek belajarlah yang mengartikan apa yang telah disampaikan dengan penyesuaian terhadap pengalaman-pengalaman yang dimilikinya[3].
1.      Pandangan Konstruktivisme tentang Pendidikan
a)      Belajar dan pembelajaran
Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, dinamis dan tidak menentu. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktifitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar subyek belajar termotivasi dan menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini subyek belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan, tergantung pada pengalamannya dan perspektif yang akan dipakai dalam menginterpretasikannya. Sedangkan mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasikan peristiwa, obyek atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik.[4]
b)     Tujuan pembelajaran
Konstruktivisme menekankan tujuan pembelajaran ada pada belajar bagaimana belajar (how to learn), terutama dalam hal menciptakan pemahaman baru, yang menuntut aktivitas kreatifitas produktif dalam konteks yang nyata, yang mendorong subyek untuk berfikir dan berfikir ulang dan mendemontrasikan apa yang sedang atau yang telah dipelajari.
c)      Strategi pembelajaran
Pembelajaran dalam pandangan konstruktivistik adalah, pembelajaran yang lebih banyak diarahkan untuk melayani pertanyaan atau pandangan subyek belajar. Dengan demikian, aktivitas belajar lebih didasarkan pada data primer atau bahan manipulatif dengan penekanan pada ketrampilan berfikir kritis seperti; analisis, analogi, generalisasi, memprediksi dan menghipotesis. Itulah sebabnya pembelajaran konstruktivistik lebih menekankan pada proses.
d)     Evaluasi
Evaluasi menurut teori konstruktivistik, menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan ketrampilan terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata, evaluasi menggali munculnya berfikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban yang benar. Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. Evaluasi menekankan pada ketrampilan proses dalam kelompok.[5]
e)      Kurikulum
Penyeragaman kurikulum menurut pandangan konstruktivistik sangat berpotensi untuk menghambat perkembangan siswa dalam penghargaannya terhadap perbedaan. Dimanapun subyek belajar berada, baik di kota maupun di desa atau sampai pada daerah terpencil sekalipun, subyek belajar harus belajar dari kurikulum yang sama. Penyeragaman seperti ini bertujuan untuk menghasilkan paradigma kesamaan.
2.      Karakteristik pembelajaran konstruktivis
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa literatur yaitu[6] :
a.      Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya .
b.      Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
c.       Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman.
d.     Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain.
e.      Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah.
Sedangkan menurut Siroj ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah[7] :
a.      Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
b.      Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
c.       Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
d.      Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
e.      Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
f.        Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.

C.    MUHAJIR SULTHON  DAN METODE AL-BARQY
1.      Sekilas Profil Pengarang
KH Muhadjir Sulthon, dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, ini memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan metode membaca Al-Qur’an yang efektif dan efisien. Setelah mempelajari berbagai metode membaca Al-Qur’an yang berkembang sejak beberapa abad lalu hingga metode paling mutakhir, Muhadjir akhirnya menemukan metode yang paling efektif.
Beliau mempelajari metode Baghdadi, yang ditemukan sekitar 1.400 tahun lalu di ibu kota Iraq. Metode tersebut digunakan secara tradisional, juga di Indonesia, bahkan hingga kini. Metode paling mutakhir adalah metode Iqra’. Meskipun yang terakhir ini dipandang banyak orang sebagai metode yang sangat efektif, beliau masih terobsesi oleh metode baru yang jauh lebih efektif lagi.
Tetapi yang lebih kuat mendorongnya mencari metode baru adalah banyaknya keluhan masyarakat tentang sulitnya belajar membaca Al-Qur’an. Ayah delapan anak, buah perkawinannya dengan Muawanah pada 1971, ini kemudian mencari akar persoalannya. Menurutnya, ada dua faktor. Pertama, metode yang dipakai selama ini ternyata tidak efektif. Kedua, masyarakat agaknya begitu fanatik dengan metode yang ada—yang ternyata tidak efektif itu—sehingga sulit menerima metode baru. Padahal, pria berjenggot ini yakin, “Belajar Al-Qur’an itu mudah dan cukup dengan waktu yang relatif singkat.”
Sejak 1965 beliau mencoba menyusun metode baru, dan mempraktekkannya kepada murid-muridnya di SD Islam At-Tarbiyah, Surabaya. Dia juga mempraktekkannya di rumah. Sambil terus menyempurnakan metode yang tengah dirintisnya ini, usaha beliau agaknya membuahkan hasil. Anak-anak yang belajar membaca Al-Qur’an dengan metode yang disusunnya relatif cepat mampu membaca Al-Qur’an dengan baik, lebih cepat dibanding anak-anak yang menggunakan metode lain.
Sambutan pun mengalir dari berbagai kalangan. Betapa tidak. Anak-anak mampu membaca Al-Qur’an hanya dalam tempo delapan jam. Sementara metode Baghdadi yang digunakan secara tradisional, baru bisa mengantarkan anak membaca Al-Qur’an dalam tempo berbulan-bulan. Itulah yang membuat beliau sangat optimistis dengan metode temuannya.
Metode Kilat. Begitu yakin dengan metode baru itu, Beliau kemudian membukukannya dalam Cara Cepat Mempelajari Bacaan Al-Qur’an di tahun 1978. Metode itu sendiri diberinya nama Al-Barqy. Al-Barqy—dari bahasa Arab — berarti kilat. Tentu nama metode tersebut terasa bombastis : belajar membaca Al-Qur’an secepat kilat. Namun, ada begitu banyak harapan di balik nama yang bombastis itu.[8]
2.      Metode Al-Barqy dan Kakateristiknya
Metode ini ditemukan/dicetuskan oleh Drs. Muhadjir Sulthon, dan disosialisasikan pertama kali sebelum tahun 1991, yang sebenarnya sudah dipraktekkan pada tahun 1983. Pada metode ini juga tidak disusun atau dicetak menjadi beberapa jilid melainkan sudah berbentuk buku. Dalam pembelajaran Al Qur’an, metode ini lebih menekankan kepada pendekatan global atau gestald psycology yang bersifat Struktural Analitik Sintetik (SAS). Yang dimaksud dengan SAS ini adalah penggunaan struktur kata/kalimat yang tidak mengikuti bunyi mati (sukun), seperti kata Jalasa dan Kataba.
Metode al-Barqy terasa lebih dekat dengan bahasa anak-anak. beliau berusaha menyesuaikan ucapan yang biasa dilafalkan anak-anak. Yaitu, a-da-ra-ja, ma-ha-ka-ya, ka-ta-wa-na, sa-ma-la-ba. Jadi, sebisa mungkin diusahakan anak-anak tidak asing dengan bacaan yang tengah mereka pelajari.
Secara teoritis, metode ini apabila diterapkan pada anak kelas IV SD keatas hanya memerlukan waktu (memenuhi sistem) 8 jam, bahkan bagi anak SLTA keatas cukup 6 jam, sedangkan jika buku Al Barqy diterapkan pada anak TK dengan cara bermain, maka dapat memicu kecerdasan. Adapun fase yang harus dilalui dalam metode Al Barqy, antara lain[9]:
1)      Fase analitik, yaitu guru memberikan contoh bacaan yang berupa kata-kata lembaga dan santri mengikutinya sampai hafal, dilanjutkan dengan pemenggalan kata lembaga dan terakhir evaluasi yaitu dengan cara guru menunjuk huruf secara acak dan santri membacanya
2)      Fase sintetik, yaitu satu huruf (suku) digabung dengan yang lain, hingga berupa suatu bacaan, misal : م هـ  ك ي menjadi : مهك
3)       Fase penulisan, yaitu santri menebali tulisan yang berupa titik-titik.
4)       Fase pengenalan bunyi a-i-u, yaitu pengenalan terhadap tanda baca fathah, kashroh, dan dhommah (اَ اِ اُ).
5)       Fase pemindahan, yaitu pengenalan terhadap bacaan atau bunyi Arab yang sulit, maka didekatkan pada bunyi-bunyi Indonesia yang berdekatan, misal:  ذ   dengan pendekatan دَ
                              شَdengan pendekatan سَ
6)      Fase Pengenalan Tanwin. Harakat ganda berbunyi n atau menggunakan istilah akhiran ‘N’ (tanwin). Perlu diingatkan, bahwa tanwin itu hanya ada pada suku terakhir dari kata. Jadi tak ada yang diawali atau ditengah.
7)      Fase pengenalan  mad, yaitu mengenalkan santri pada bacan-bacaan panjang.
8)      Fase pengenalan tanda sukun, yaitu mengenalkan santri pada bacaan-bacaan yang bersukun.
9)      Fase pengenalan tanda syaddah, yaitu mengenalkan santri pada bacaan-bacaan yang bersyaddah (berbunyi dobel).
10)   Fase pengenalan Huruf. Cara mengenalkan atau membaca nama huruf harus dengan al. Jadi al-ba’ bukan hanya ba’, al-jim. Hal ini untuk segera dapat membedakan mana yang Qomariyyah dan mana yang Syamsiyyah.
11)   Fase pengenalan Qashidah Huruf Hijaiyyah. Yakni dengan menggunakan bahr Rajaz (dibaca dengan lagu hingga anak mudah menghafal).
12)  Fase Pengenalan Huruf  yang tidak dibaca atau dilewati. Huruf yang tidak mendapat tanda aksi (harakat) tidak dibaca.
Biasanya :
ا – ل – و – ي. Dan sebagainya.
Metode Al-Barqy sendiri memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan metode baca tulis al-Qur’an yang lainnya yakni sebagai berikut[10];
1)      Tidak perlu berjilid-jilid;
2)      Praktis untuk segala umur;
3)      Cepat dapat membaca huruf sambung;
4)      Dilengkapi teknik imlak yang praktis dan teknik menulis (khath);
5)      Menggunakan metode yang aktual yaitu metode SAS;
6)      Dilengkapi buku latihan menulis Al-Barqy(LKS)

D.    FENOMENA KONSTRUKTIVISTIK DALAM METODE AL-BARQY
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa metode Al-Barqy memiliki beragam karakateristik atau prinsip-prinsip yang mencirikan metode al-Barqy itu sendiri. Oleh karena itu, disini penulis ingin mencoba menelusuri dan menganalisis adanya fenomena konstruktivistik yang terdapat dalam metode al-Barqy. Adapun uraiannya sebagai berikut;
1.      Konsep Asimilasi dan akomodasi
Dari segi pembentukan polanya, metode Al-Barqy sendiri didesain dalam bentuk atau pola-pola kata atau bahasa yang lebih dekat dengan bahasa anak-anak. Hal ini dimaksudkan agar dapat menyesuaikan ucapan yang biasa dilafalkan anak-anak sehari-hari. Yaitu, a-da-ra-ja, ma-ha-ka-ya, ka-ta-wa-na, sa-ma-la-ba. Jadi, sebisa mungkin diusahakan anak-anak tidak asing dengan bacaan yang tengah mereka pelajari. Dan ternyata, hal ini senada dengan prinsip dasar konstruktivisme yang mengemukakan bahwa untuk menautkan data baru ke struktur kognitif dapat dilakukan dua cara; Pertama, Asimilasi yakni menautkan data baru ke struktur kognitif dengan langsung mengasimilasikannya karena sudah sesuai dengan yang ada pada skema yang ada.
Disamping itu juga, metode Al-Barqy merupakan perpaduan antara metode ho-no-co-ro-ko (Jawa) dan metode Arab, akan tetapi agar lebih efektif dan efisien, metode ho-no-co-ro-ko yang terdiri dari 5 suku kata itu dipadatkan menjadi 4 suku kata saja dengan harapan agar dapat mempermudah cara belajar yang menggunakan metode Al-Barqy tersebut. Disinilah terjadi cara yang kedua yakni Akomodasi yaitu menautkan data baru ke struktur kognitif dengan mengubah skema yang ada terlebih dahulu supaya sesuai dengan data baru tersebut.
Oleh sebab itu, penganut konstruktivis mengemukakan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, konsep, nilai dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang mengkonstruksi pengalaman atau dunia sejauh dialaminya.[11]

2.      Pendekatan SAS (Struktural Analitik-Sintetik)
Dari segi pengajarannya, metode al-Barqy menggunakan pendekatan global atau Gestald Pyschiology yang bersifat Analitik-Sintetik yang dikenal dengan istilah Struktural Analitik-Sintetik (SAS). Dalam hal ini, pengarang Al-Barqy secara tidak langsung juga telah mengadopsi salah satu teori dalam konstruktivis yakni tentang keseluruhan (whole) sebagai fenomena kesadaran. Diantara yang termasuk sebagai belajar dengan keseluruhan (learning by wholes) adalah metode global yang dikemukakan oleh Ovid De Croly yang kemudian dikembangkan menjadi SAS.
Metode ini digunakan untuk pembelajaran membaca (al-Qur’an) bagi siswa pemula. Proses pembelajaran bermulai dari fase analitik yakni guru memberikan contoh bacaan (modelling) yang berupa kata-kata lembaga dan santri mengikutinya sampai hafal, dilanjutkan dengan pemenggalan kata lembaga dan terakhir evaluasi yaitu dengan cara guru menunjuk huruf secara acak dan santri membacanya. Dilanjutkan fase sintetik yakni satu huruf (suku) digabung dengan yang lain, hingga berupa suatu bacaan, misal:
ي
ك
هـ
م
كـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــي

يـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــك
مـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــه

هــــــــــــــــــــــــــــــــــــــم

3.      Konsep Analisis
Dari segi penyusunan materinya, Al-Barqy menyajikan materinya bermula dari bahan yang tidak bisa dimengerti melalui cara apapun atau dari bagian tidak bermakna seperti أ –  د –  ر -  ج dan د أ , جر, kemudian beranjak ke materi yang dapat dipahami maknanya seperti مهك , كهم dan lain seterusnya. Dalam hal ini, penulis berasumsi bahwa dalam penyusunan materi Al-Barqy, sesungguhnya pengarang sendiri telah menerapkan salah satu gagasan atau teori konstruktivis tentang pendekatan nosional-fungsional. Pendekatan ini lebih mengedapankan kelancaran dari pada ketepatan (maknanya). Disisi lain, hal ini juga bersesuaian dengan karakteristik metode al-Barqy itu sendiri yang lebih mengedapankan dapat membaca huruf sambung tanpa harus mengetahui maknanya.
Disamping itu juga, salah satu karakteristik metode al-Baqrqy yakni sedikit tak berjilid jilid seperti Iqra` yang mengindikasikan bahwa adanya penekanan pembelajaran pada pemahaman bukan pembiasaan. Lebih jauh hal itu menunjukkan pengharapan pada siswa untuk menggunakan analisis bukan analogi.

4.      Konsep otomatisasi
Dapat kita amati dengan seksama bahwa metode Al-Barqy dalam hal penyusunan materinya ingin mengemukakan perlu adanya pengulang-ulangan atau latihan. Indikasi ini dapat dilihat dari salah satu materi yang disajikan oleh al-Barqy sendiri yakni;
ج
ر
د
أ
ر                         ج
أ                          د
ج
ر
د
أ
ججج
ر ر ـــــــــر
د د ــــــــــــد
أ أ ـــــــــأ

Menurut hemat penulis, bahwa konsep pengulangan yang telah dikemukakan penganut konstruktivis ternyata secara tidak langsung telah ada tersirat dalam penyajian atau penyusunan materi Al-Barqy itu sendiri. Namun demikian perlu diketahui bersama bahwa pengulangan dapat mengambil berbagai bentuk seperti review, practice (praktek) serta drilling (latihan). Dalam hal ini latihan sendiri ada dua macam: latihan tubian (massed practice) dan latihan tersebar (distributed practice). Secara implisit, psikologi kognitif sebagai basis dari konstruktivisme lebih cenderung kepada latihan tersebar (distributed practice) karena dalam penelitiannya ditemukan bahwa latihan tersebar lebih efektif daripada latihan tubian untuk belajar dan penyimpanan (retention), baik pada meaningful learning maupun pada sejumlah faktor sepertu usia, kemampuan belajar, tabiat, kuantitas, dan kesulitan tugas.
Pengulangan sendiri selain bertujuan untuk otomatisasi juga dimaksudkan untuk menghasilkan peningkatan kemahiran motorik, dan pada saat yang sama juga dapat menghasilkan pula peningkatan kemahiran kognitif dan retention.
5.      Generalisasi sebagai basis transfer belajar
Perlu diketahui bersama bahwa metode al-Barqy sendiri lebih menekankan analisiis ketimbang analogi, maka basis transfer belajar yang dikembangkan adalah generalisasi. Dalam hal ini Gagne membedakan dua macam transfer yakni transfer lateral dan transfer vertikal. Dalam transfer lateral, kemampuan-kemampuan belajar yang ada diaplikasikan secara tidak langusng dan dalam pengertian secara umum untuk menyelesaikan problem terkait atau untuk memahami materi lain dalam disiplin ilmu yang berbeda. Hal ini melibatkan generalisasi perangkat belajar yang ada untuk menyelesaikan problem terkait bidang pengetahuan yang agak berbeda.
Sedangkan transfer vertikal berlaku untuk situasi di mana penguasaan perangkat yang agak spesifik, dari kemampuan-kemampuan subordinate (subordinate capabilities), merupakan prasyarat untuk memperoleh pengetahuan yang lebih tinggi dalam (lingkup) sub bidang pengetahuan yang agak terbatas.

E.     KESIMPULAN
Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses di mana pembelajar secara aktif mengkonstruksi atau membangun gagasan-gagasan atau konsep-konsep baru didasarkan atas pengetahuan yang telah dimiliki di masa lalu atau ada pada saat itu. Dengan kata lain, belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya sendiri oleh dirinya sendiri.
Pandangan konstruktivisme banyak mempengaruhi pada aspek pendidikan yang meliuputi belajar dan pembelajaran, tujuan, strategi, evaluasi dan lain-lain. Selain itu juga ternyata pandangan-pandangan konsruktivistik tersebut juga ada tersirat dalam metode belajar baca tulis al-Qur’an Al-Barqy yang dicetuskan oleh Muhajir Sulthon.
Setelah diadakan penelusuran dan analisis mengenai  fenomena konstruktivistik dalam metode al-Barqy akhirnya dapat ditemukan poin-poin penting konstruktivistik dalam Al-Barqy seperti konsep asimilasi dan akomadasi, pendekatan SAS, konsep nosional-fungsional, konsep otomatisasi atau pengulangan, dan bersifat atomistik.

DAFTAR PUSTAKA
E. Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi, Teori dan Aplikasi. Jakarta : Pakar Raya, 2004.
Muhajir Sulthon, Al-Barqy sistem 8 Jam, Surabaya: CV Penasuci, 1999
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Penasuci Group, http://www.al-barqy.com/statis-4-pengarang.html. Diakses pada tanggal 15 November 2013.
Siroj, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm. Diakses pada tanggal 15 November 2013.
Umi Machmudah, dkk, Active Learning dalam Pembelajaran Bahasa Arab, Malang: UIN Malang Press, 2008.
Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Arruz Media, 2006.


[1] Muhajir Sulthon, Al-Barqy sistem 8 Jam, (Surabaya: CV Penasuci, 1999), hlm. 6.
[2] Lihat Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Arruz Media, 2006), hlm. 58. Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadapa situasi baru, dan Ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi;
[3] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 45.
[4] Umi Machmudah, dkk, Active Learning dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008),hlm. 33.
[5] Ibid., hlm. 36.
[6] E. Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi, Teori dan Aplikasi. (Jakarta : Pakar Raya, 2004), hlm. 54.
[7] Siroj, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm. Diakses pada tanggal 15 November 2013.
[8] Penasuci Group, http://www.al-barqy.com/statis-4-pengarang.html. Diakses pada tanggal 15 November 2013.
[9] Muhajir Sulthon, Al-Barqy sistem 8 Jam,............hlm. 5-8
[10] Ibid., hlm. 2.
[11] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.........hlm. 87.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

الكتابة: مفهومها وخصائصها ونشأتها وأنواعها

PENYUSUNAN BAHAN AJAR BAHASA ARAB

LINGUSTIK MODERN: Perkembangan, Aliran, Tokoh, dan Karakteristiknya