Kritik atas Sekularisasi dan Westernisasi Ilmu



Kegiatan berfikir merupakan ciri dari filsafat. Sebab berfikir pada hakikatnya ia sedang berfilsafat. Berfilsafat dirintis sejak adanya manusia itu sendiri. Sejak periode batu hingga periode yang serba canggih saat ini merupakan perjalanan panjang dan melelahkan dari berfilsafat. Harus diakui bersama bahwa penemuan-penemuan dan karya-karya kelimuan lainnya dapat memberikan kemudahan-kemudahan, namun disisi lain juga dapat mendatangkan kerusakan, kehancuran, perpecahan dan lain sebagainya.
            Kebebasan berfikir mengalami puncaknya ketika Rene Descartes mulai menyuarakan adagiumnya “Cogito Ergo Sum” (aku berfikir, maka aku ada). Sejak saat itulah manusia mulai mendewakan rasionya. Hingga rasio dengan bebasnya dapat merambah ke ranah dan domain manapun yang ia kehendaki. Dari domain ilmu, realitas, bahkan agama sekalipun. Sebab menurut mereka kebenaran agama bukanlah kebenaran yang final atau absolut.
            Dari sinilah penulis ingin menekankan bahwa sesungguhnya ada wilayah-wilayah atau domain yang tak terjama dan tak terjangkau oleh rasio manusia yaitu domain agama. Corak pemikiran yang dicontohkan Barat sesungguhnya telah mengabaikan dogma-dogma agama yang dapat menimbulkan berbagai kompleksitas kehidupan. Disamping itu juga, pemikiran Barat Modern yang begitu liberal atau ekstrem dapat membawa keraguan terhadap agama (skeptis/doubt) hingga berlanjut pada sikap agnostik (tidak mengetahui) akan adanya Tuhan dan berujung pada ateisme (tidak percaya) bahwa Tuhan itu ada.
            Ternyata tidak hanya itu konsekuensi dari pemikiran Barat modern yang liberal dan tidak didasarkan pada agama. Di sisi lain pemikiran yang semacam ini akan membawa kepada sekularisasi ilmu. Semuanya yang diukur hanyalah keduniaan atau materi. Hingga akhirnya melahirkan paham baru yang disebut materialisme. Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti jiwa, keyakinan, ketenangan tidak lagi menjadi tolak ukurnya akan tetapi lebih kepada kepuasaan jasmani semata. Maka dari sini muncullah isme baru yakni hedonisme yang menganjurkan manusia mencapai kebahagiaan hanya didasarkan pada kenikmatan, kesenangan semata.
            Lalu pertanyaan yang muncul adalah kenapa kita tidak merujuk kepada pemikiran-pemikiran tokoh Timur seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan lainnya yang mendasarkan dan membangun pemikiran-pemikiran diatas wahyu dan kepercayaan agama? Pemikiran yang menyadari akan keterbatasan rasionya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

الكتابة: مفهومها وخصائصها ونشأتها وأنواعها

PENYUSUNAN BAHAN AJAR BAHASA ARAB

LINGUSTIK MODERN: Perkembangan, Aliran, Tokoh, dan Karakteristiknya