Pendidikan Islam Perspektif Syekh Nawawi Al-Bantani (Tinjauan Filosofis)
A.
Pendahuluan
Nama Syekh Nawawi Al-Banten sudah
tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan
kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi Asy-Syam.
Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang
sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih
hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang
menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama
dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir.
Syekh Nawawi Al-Bantani
sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pembaharuan pemikiran
kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa Syekh Nawawi Al-Bantani
diakui atau tidak bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan
sistem pendidikan Islam (pesantren), terutama di Jawa.[1]
Di kalangan komunitas pesantren
Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia
adalah mahaguru sejati (the great scholar). Syekh Nawawi telah banyak
berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan
di lembaga pendidikan islam. Pemikiran pendidikannya masih relevan
diaplikasikan baik yang menyangkut nilai-nilai dasar maupun aktivitas-aktivitas
pendidikan islam dalam masyarakat Indonesia yang religius dan majemuk.[2]
Meskipun
tidak lengkap, dan sebanding dengan keterbatasan kepustakaan yang dibaca dan
tersedia, maka tulisan ini berusaha untuk membahas lebih jauh lagi
mengenai Syekh Nawawi al-Bantani beserta pemikirannya, khususnya pemikiran
tentang pendidikan Islam.
B.
Sketsa
Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani
1.
Syekh
Nawawi Al-Bantani: Sebuah Profil
Nama lengkap Syekh Nawawi ialah
Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Arabi. Beliau juga dikenal dengan sebutan Abu
Abdul Mu’thi. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi
al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1230
H dan wafat Pada di Ma’la Mekkah Saudi Arabia pada. Pada tanggal 25 Syawal
tahun 1314 H/1897 M dalam usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam
Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi.[3]
Syekh Nawawi lebih populer dengan
julukan Sayyid Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Melalui pelacakan
geneologi Syeikh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12
dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan
dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul
‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad SAW melalui Imam Ja’far
Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zain Al-Abidin, Sayyidina Husain,
Fatimah Al-Zahra. Melalui bapaknya yang bernama Umar bin Arabi dan ibunya
bernama Zubaidah, Syekh Nawawi hidup dalam keluarga yang miskin dan di
lingkungan ulama. Ayahnya seorang penghulu dan pemimpin masjid serta pendidik
muslim di Tanara.[4]
Syeikh Nawawi mempunyai dua istri, yang
pertama adalah Nasima, seorang jawa, dan Hamdara. Dari isteri pertama Syeikh
Nawawi mempunyai tiga anak perempuan Ruqayyah, Nafisah, dan Maryam. Sedangkan
dari isteri yang kedua mempunyai satu anak perempuan yakni Zahro.[5]
2.
Latar
pendidikan dan guru-gurunya
Syekh Nawawi, tentu bukan
sekedar sebuah nama. Ia adalah ulama besar, enlighter, sosok yang
cerdas, dan manusia Banten yang sejak kecil memiliki bakat intelektual.[6]
Pada masa kanak-kanaknya, beliau bersama dua saudara kandungnya, Tamim dan
Ahmad telah memperoleh pengetahuan dasar dalam bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), Fiqih,
Tauhid, dan Tafsir langsung dari ayahnya KH. Umar Ibnu Arabi. [7]
Pengetahuan dasar tersebut mendorongnya untuk meneruskan pelajarannya, lalu
beliau pergi ke beberapa pesantren di Jawa.[8]
Selain itu ia belajar pada Kiai Sahal di
daerah Banten dan Kiai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi
menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan bermukim di sana selama 3 tahun. Di Mekah,
ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram,
seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Dimyati, dan Syekh Ahmad Dahlan. Ia juga pernah
belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khatib al-Hambali. Sekitar
tahun 1248 H/1831 M ia kembali ke Indonesia. Di tempat kelahirannya, ia membina
pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi politik yang tidak
menguntungkan, ia kembali ke Mekah setelah 3 tahun berada di Tanara dan
meneruskan belajar di sana. Sejak keberangkatannya yang kedua kalinya ini,
Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, di
Mekah ia berupaya mendalami ilmu-ilmu agama dari para gurunya, seperti Syekh
Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni, dan
Syekh Abdul Hamid Dagastani.[9]
3.
Pengajaran
dan murid-muridnya
Kecerdasan dan ketekunannya
memngantarkan ia menjadin salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram.
Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi imam Masjidil Haram, Syekh Nawawi
ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram
dengan panggilan ‘Syekh Nawawi Al-Jawi’. Selain menjadi imam Masjid, ia juga
mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi
murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia.[10]
Pada tahun 1860 M. Syekh Nawawi mulai mengajar
di lingkungan Masjidil Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan, karena
dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana.[11] Menurut laporan C.
Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang pernah mengunjungi Mekah ditahun
1884-1885 menyebutkan bahwa sejak pukul 07.30 hingga 12.00, Syekh Nawawi memberikan
tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya.[12] Sebagian
murid-muridnya berasal dari Indonesia, yaitu KH. Khalil (Madura), KH. Hasyim
Asy’ari (Jawa Timur), KH. Raden Asnawi (Jawa Tengah), KH. Asy’ari (Bawean), KH.
Asnawi dari Caringin, Labuan Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta;
serta KH. Arsyad Thawil dari Banten.[13]
4.
Karya-karyanya
Kedalaman ilmu dan keluasan
pemikiran syekh Nawawi tercermin dalam kitab-kitab dan karya yang ditulisnya
yang meliputi berbagai disiplin ilmu dan lintas mazhab. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya karangan yang telah ditulisnya dan percetakan yang menerbitkannya
serta seringnya kitab-kitab tersebut dicetak ulang di Timur Tengah.[14] Syekh
Nawawi menulis karya-karyanya dengan mempergunakan bahasa Arab sebagai bahasa
pengantarnya, sehingga pada waktu itu dapat dicetak di Mesir dan Mekkah,
kemudian beredar di dunia Islam, terutama di negara-negara yang bermazhab
Syafi’i.[15] Sedangkan
jumlah kitab yang menjadi karyanya, para peneliti memberikan kesimpulan yang
beragam.
Data karya tulis syekh Nawawi
yang cukup jelas adalah hasil penelitian M. Th Moutsma dan A.J Wensick dkk,
sebagai berikut[16]:
1)
Bidang
teologi; diantaranya ialah kitab Fath al-Majîd (1298 H), Tijân
Al-Dararî (1301 H), Kasyfiyah al-Sajâ (1292 H), Al-Nahjah
al-Jadîdah (1303 H), Zari’ah al-Yaqîn ‘ala Umm Barâhîn (1317 H), al-Risâlah
al-Jamî’ah Baina Ushûl al-Dîn wa al-Fiqh wa al-Tashwuf (1292 H), Al-Simâr
al-Yâni’ah (1299 H), Hilyah al-Sibyân ‘ala Fath al-Rahmân (t. th)
dan Nûr al-Zalâm (1329 H).
2)
Bidang
Fiqh (Hukum Islam); Al-Tausîkh (1314 H), Sulâm al-Munajâh
(1297H), Nihayah Al-Zain (1297H), Mirqah Al-Su’ud al-Tashdîq
(1292H), Suluk al-Jadah (1300H), Al-‘Aqd Al-Samin (1300H), Fath
Al-Mujîb (1276H), ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain (1297H),
Qutub Al-Habibi Al-Gharîb (1301 H), dan Kasyfiyah al-Sajâ
(1292H). Karya-karya tersebut merujuk kepada mazhab Syafi’i di mana beliau
sebagai pengikutnya.
3)
Bidang
Akhlak/Tasawuf. Diantaranya; Qami’ al-Tugyân ‘ala Manzûmah Syu’b al-Imân
(1296H), Salalîm al-Fudhalâ (1315H), Misbâh al-Zulm ‘ala Manhaj
al-Atam fi Tabwîb al-Hukm (1314H), Marâqi al-‘Ubûdiyah (1298H), dan Syarh
ala Manzûmah al-Syaikh Muhammad Al-Dimyati fi Tawâssul bi Asma’ Allah al-Husna
(1302H).
4)
Bidang
Tarikh atau Sîrah Nabawiyah diantaranya; Al-Ibrir ad-Dani (1299H), Bugyah
al-‘Awâm (1207H), Targhib al-Mussytaqîn (1292H), Madârij al-Su’ûd
ila Iktisa’ al-Burûd (1296H) dan Fath Samad (1292H).
5)
Bidang
Tatabahasa dan Kesusasteraan Arab, diantaranya; Lubâb Al-Bayân (1301H), kasyf
al-Marûtiyah ‘an Sitâr al-Ajjrûmiyah (1298H), Al-Fusûsh al-Yaqûtiah
(1299H), dan Fath al-Ghafîr al-Khâttah (1298H).
6)
Bidang
Tafsir-Hadits diantaranya; Marâh Labîd[17]
atau Tafsir Al-Munîr (1305H) yang terdiri dari dua jilid dan Tanqîh
al-Qaul (t.th) dalam bidang Hadits.
C.
Pemikiran
Pendidikan Islam Syekh Nawawi Al-Bantani
1.
Ide-ide sentral
pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani
Dalam pandangan Syekh Nawawi,
sesuai dengan pandangan Islam, bahwa manusia pada prinsipnya terdiri dari dua
dimensi yaitu dimensi materi (fisiologis) dan dimensi immateri (psikologis).
Baik dimensi fisiologis maupun psikologis adalah satu kesatuan integral yang
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya dan keduanya saling
melengkapi. Fitrah manusia menurutnya ialah fitrah ketuhanan (tauhid)-dualis
dan aksinya terhadap dunia luar bersifat interaktif-responsif.[18] Islam tidak
memandang manusia sebagai makhluk yang kosong dari daya-daya dan potensi
seperti halnya konsep tabularasa seperti yang dikemukakan oleh John
Locke (1623-1704), karena itu pendekatan yang totalitas terhadap semua dana
atau potensi yang telah dimiliki manusia.[19]
Manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan
sesuai dengan sifat kemanusiaannya dan dibatasi kebebasannya dengan sunnatullah
yang pasti. Karena adanya keterbatasan itu, maka ilmu pengetahuan yang
ditemukannya pun bersifat relatif dan nisbi. Untuk itu manusia tetap berada di
dalam lingkungan Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, dan Tauhid al-Asma
wa al-Sifah Sehingga manusia dalam pemikiran pendidikan Islam bersifat
teosentris.[20]
Keberhasilan dalam menata kebudayaan termasuk
pendidikan Islam merupakan perpaduan antara kehendak dan kemauan bebas manusia,
hereditas, dan pengaruh dunia luar terhadap peserta didik. Tentu tiga faktor
ini merupakan antroposentris yakni hasil dari akal budi manusia sesuai dengan
sunnatullah yang diketahui dan diarahkan untuk mencapai kesejahteraan dunia.[21] Dalam pandangan
Islam, pola pemikiran seperti ini tidaklah cukup, karena mengingat
keterbatasan-keterbatasan manusia. Untuk itu mau tak mau kita harus bersandar
kepada Yang Maha Pengatur Jagad Raya dan segala sunnatullah-Nya.
Potensi-potensi fisiologis dan psikologis manusia tidaklah cukup jika hanya
mengandalkan perjanjian primordial dengan Tuhan. Potensi-potensi itu
harus dikembangkan melalui pendidikan. Karena tanpa ilmu maka manusia tidak
akan mampu mengemban amanah khalifah dan melaksanakan ‘ubûdiyah yang
merupakan tanggung jawab manusia untuk menunaikannya.[22]
2. Prinsip-prinsip aktivitas Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan dan pengajaran dalam Islam
menurut Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib.
Pendidikan mencakup transfer of knowledge (alih pengetahuan), transfer of
value (alih nilai), transfer of methodology (alih metode), dan
transformasi. Pendidikan mencakup jasmani (praktik/amal), intelektual,
mental/spiritual dan berjalan sepanjang hidup dan integral yang harus berjalan
secara bersama-sama. Pengajaran (transfer) merupakan strategi untuk mengaktualkan pendidikan
(transformasi).[23]
Penentuan tujuan pendidikan
dalam pemikiran Syekh Nawawi diambil dari penjelasannya tentang tujuan peserta
didik menuntut ilmu dan syarat-syarat seseorang memperoleh ilmu serta ayat-ayat
tentang pendidikan. Ayat-ayat tersebut menurutnya adalah QS. Surah al-Dzariyat:
56 berbunyi[24];
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
|
“Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS.
Al-Dzariyah: 56)
Tampaknya tujuan pendidikan
Islam menurut Syekh Nawawi merupakan refleksi dari fungsi manusia sebagai ‘ubûdiyah
dan khalîfah (co creator). Sebagaimana tercermin dari pendapatnya bahwa tujuan
pendidikan dalam Islam (memperoleh Ilmu)
ada empat yakni; 1) agar memperoleh rida (rela) dari Allah (mardhatillah)
dan memperoleh kehidupan ukhrawi; 2) untuk menyingkirkan kebodohan dari dirinya
(peserta didik) dan mengamalkan ilmunya; 3) menghidupkan agama dan mengabdikan
Islam dengan sinaran ilmu; 4) untuk mensyukuri nikmat Allah berupa pemberian
akal dan badan yang sehat.[25] Dari
empat tujuan pendidikan yang digagas Syekh Nawawi tersebut, tampaknya beliau
dapat mengkonstruksi tujuan pendidikan berada pada tujuan-tujuan idealis dan
tujuan realistis. Idealis berkaitan dengan nilai mardhatillah dan
membangun kebahagiaan ukhrawi, sedangkan tujuan realistis ialah menghilangkan
kebodohan, mengabdikan Islam dengan sinaran ilmu, mengoptimalkan
potensi-potensi akal dan tubuh.[26]
Dari berbagai percikan
pemikiran Syekh Nawawi baik sewaktu ia bicar tentang tujuan memperoleh ilmu,
etika terhadap ilmu, dan etika relasi edukatif guru dan peserta didik, maka
dapat diklasifikasikan paling tidak ada empat dimensi yaitu; (a) dimensi
pendidikan spiritual, yaitu tauhid, takwa dan ahlak mulia. Dimensi akhlak yakni
pembentukan pribadi-pribadi yang terpuji akhlaknya; (b) dimensi pendidikan akal
(kognisi) yakni mengajarkan ilmu, mendidik akal dan pemanfaatan atau
pengaplikasian terhadap apa yang diketahui oleh peserta didik; (c) dimensi
pendidikan Jasmani; guru sebagai pemimpin, fasilitator, instruktor pendidikan
haruslah kuat jasmaninya. Ilmu, akhlak dan kekuatan atau kesehatan fisik
merupakan satu kesatuan integral dalam konsep syekh Nawawi; (d) dimensi
pendidikan sosial yakni berkaitan dengan refomasi sosial keseluruhan dan
tanggung jawab kemasyarakatan yang membawa kepada perubahan dan kemajuan; dan
(e) dimensi pendidikan profesional yakni yang berkaitan dengan pendidikan dan
pengajaran sebagai ilmu, sebagai profesi dan sebagai suatu aktivitas di antara
aktivitas-aktivitas masyarakat.[27]
Salah satu fungsi pendidikan
ialah transfer of methodology (pengalihan metode). Syekh Nawawi tidak
secara eksplisit mengemukakan metode apa yang harus digunakan, tetapi ia
memberikan prinsip-prinsipnya. Diantara prinsip tersebut menurutnya ketika
penyampaian bahan ajar yaitu pendidik harus mengetahui keadaan peserta
didiknya, baik latar belakang ekonomi, mental, keluarga dan bantuan apa yang
harus diberikan dalam memperoleh informasi, memecehkan persoalan dan mengetahui
kelebihan dan kekurangan serta potensi peserta didiknya.[28]
Dari berbagai percikan
pemikiran Syekh Nawawi tersebut dapat dijelaskan bahwa prinsip-prinsip umum
yang mendasari metode pengajaran dalam pendidikan Islam ialah[29];
(1) dalam penyajian materi, dimulai dari yang mudah, yang konkrit, dan dapat
dipahami oleh kognisi peserta didik. Dalam arti, adanya prinsip berjenjang atau
bertahap (gradual); (2) prinsip heterogenitas peserta didik, guru
hendaknya mengetahui taraf kematangan, perbedaan individual, dan lain
sebagainya; (3) prinsip penggunaan metode mengajar sesuai dengan tingkat
kemampuan dan tipologi peserta didiknya; (4) prinsip pengajaran sebagai
pengalaman menyenangkan (joyfull experience); (5) prinsip partisipasi
aktif; (6) prinsip penjelasan materi (ekplanasi); (7) prinsip tikrâr (pengulangan
atau repetisi).
D.
Implikasi
Pemikiran Syekh Nawawi terhadap Pendidikan Islam
Dilihat dari berbagai ide-ide dasar Syekh
Nawawi tentang pendidikan Islam nampaknya tokoh ini dapat diklasifikasikan
lebih berat kecenderungannya pada Aliran Religius Konservatif, dibanding
dengan aliran Religius Rasional dan Aliran Pragmatis Instrumental. Syekh Nawawi
dalam menggambarkan ide-ide dasar pendidikan, kecenderungan nuansa agamisnya
lebih dominan sehingga aspek lain menjadi kurang dominan. Penafsiran realitas
berpangkal pada agama, maka pendidikan pun dijadikannya sebagai instrumen untuk
mencapai tujuan-tujuan keagamaan.[30]
Sebagai implikasi dari pandangan Syekh Nawawi
tersebut tentu terdapat dampak positif edukatif dan juga terdapat dampak
negatif edukatifnya. Dampak edukatif positifnya adalah rasa tanggung jawab yang
sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa
tanggung jawab moral. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat
tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggung jawab keagamaan yang sangat
luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekadar sebagai tugas-tugas profesi
kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai
tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab dan kewajiban agama sebagai titik
sentral baik dalam kontruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan.
Atau dengan kata lain jika tuntutan tidak sejalan dengan tuntutan keagamaan,
maka yang harus didahulukan ialah tuntutan keagamaan.[31]
Menurut Ridha yang dikutip oleh Maragustam,
bahwa aliran religius konservatif ini membawa implikasi pendidikan yang
negatif. Kata al-’ilm dalam al-Qur’an dan hadits bersifat mutlak tanpa
batas menjadi bersifat muqayyad (terbatas) pada ilmu tentang Tuhan
menurut sebagian besar ahli pemdidik muslim saat itu; adanya kecenderungan
pendakian spiritual yang mendorong pemikiran pendidikan Islam konservatif ke arah
pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang
sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan; dan keterpakuan para ahli
pendidikan muslim pada anggapan ilmu sebagai tujuan akhir. Oleh karena
pengabaian urusan dunia, maka ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan dikuasai oleh
non muslim. Padahal penguasaan dunia sebagai sarana pendakian kebahagiaan di
akhirat.[32]
Jika Syekh Nawawi diposisikan
dalam sistem filsafat pendidikan yakni progeresivisme, esensialisme,
perenialisme dan rekonstruktivisme, kemudian dielaborasi oleh Muhaimin menjadi
tipologi pemikiran filsafat pendidikan Islam nampaknya lebih dekat kepada
aliran perenialisme-Esensialisme Mazhabi.[33] Ide-ide Syekh Nawawi
tentang etika pendidik dan peserta didik dan etika bersama terdapat implikasi
bahwa tokoh ini melihat peserta didik masih memerlukan tuntunan dan bimbingan.
Peserta didik belum bisa lepas dari pendidik, ia tetap dalam bimbingan dan
pengawasan pendidik. Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa, namun
memiliki potensi yang luar biasa. Untuk itu pendidik berperan besar untuk
mengaktualisasikannya.[34]
Menurut Amin Abdullah, sangat boleh jadi
implikasi dan konsekuensi etika ini sangat besar pengaruhnya dalam menumpulkan
daya kreativitas, etos kerja, dan etos ilmu secara bersama-sama. Paling tidak
manusia tidak bisa lagi otonom dihadapan sang guru/pendidik. Setiap tindakan harus
dikonsultasikan kepada sang guru.[35] Dari berbagai
keterangan Syekh Nawawi tentang kurikulum pengajaran, terdapat implikasi bahwa
memandang pengetahuan itu berdasarkan dari sudut pandang aplikatif dari
norma-norma agama bukan dari sudut substansi ilmu tersebut. Dengan kata lain
dasar atau hal yang esensial didahulukan kemudian disusul dengan materi lain.
Mendahulukan matan kitab dari pada syarh dalam pendidikan. Mendahulukan
kewajiban personal kemudian disusul dengan kewajiban komunal dan sunnah komunal.
Sekalipun yang wajib personal itu banyak, maka yang didahulukan diajarkan ialah
ilmu yang fungsional yang menjadi tanggung jawab peserta didik dalam arti
tanggung jawab keagamaan.[36]
E.
Penutup
Syekh Nawawi dengan pemikiran
pendidikannya telah banyak memberikan konseptualisasi pendidikan Islam hingga
saat sekarang ini. Pemikiran pendidikannya masih relevan diaplikasikan baik
yang menyangkut nilai-nilai dasar maupun aktivitas-aktivitas pendidikan Islam
dalam masyarakat Indonesia yang religius dan majemuk. Diantara prinsip-prinsip
itu ialah tiga dimensi integral yakni dimensi teosentris, dimensi
antroposentris, dan dimensi sunnatullah, dapat diaplikasikan dalam proses
pendidikan sekarang ini.
Dalam tataran teoritik, pemikiran Syekh
Nawawi tentang pendidikan Islam secara umum dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam pendidikan Islam dan akan lebih baik apabila dilanjutkan dengan
menguraikan ide-idenya menjadi lebih operasional. Sekalipun ide-ide tersebut
berasal dari tokoh pemikir kependidikan Islam pada abad ke-19, namun hal-hal
yang substantif masih relevan dilaksanakan khususnya dalam pendidikan Islam di
Indonesia.
Daftar Pustaka
Asep Muhammad Iqbal,
Yahudi Dan Nasrani Dalam Al-Qur’an Hubungan Antaragama Menurut Syeikh Nawawi
Banten, Bandung: Teraju PT Mizan Publika, 2004.
Harun Nasution dkk
(ed.), Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen Binbaga PT Agama
Islam, 1987.
Karel A. Steenbrink,
Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (jakarta: Bulan
Bintang, 1984
M. Amin Abdullah, Falsafah
Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
M. Th. Moutsma, A.
J. Wensinch, dkk, (ed.), First Encyclopedia of Islam 1913-1936, Volume
VI, Leiden: E. J. Brill, 1987.
M. Ulul Fahmi, Ulama
Besar Indonesia: Biografi dan Karyanya, Kendal: Pustaka Amanah, 2008.
Ma’ruf Amin dan
Nasruddin Anshory, “Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani”, Pesantren, No 1
/Vol. VI/1989.
Maragustam Siregar, Pemikiran
Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani, Yogyakarta: Datamedia, 2007.
Muhaimin, Wacana
Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Muhammad Hanafi,
“Pemikiran Kalam Imam Nawawi Al-Bantani dalam Kitab Qatr Al-Gais (1230-1314
H/1815-1897 M) Tahqiq dan Dirasah”, Tesis. Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010.
Sri Naharin, “Pemikiran
tasawuf Imam Nawawi al-Bantani dan M. Shaleh Darat Al-Samarani”, Tesis,
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga, 2006.
Sukron Ma'mun, “Syekh
Nawawi Al-Bantani: Lokomotif Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam
Website http://shofasaid.blogspot.com/,
14 April 2014.
Suwito dan Fauzan,
Sejarah Para Tokoh Pemikiran Pendidikan, Bandung: Angkasa, 2003
Sya'roni
As-Samfuriy, “Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani Al-Jawi”, dalam Website http://biografiulamahabaib.blogspot.com/2012/10/syekh-nawawi-al-bantani.html.
14 April 2014.
Syekh Nawawi al-Jawi,
Syarh Marâq Al-‘Ubûdiyah, Indonesia: Al-Haramain, t.th.
Tim Penyusun, Ensiklopedi
Pendidikan Islam Jilid IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta:
Penerbit LP3ES, 1985.
[1] Sukron Ma'mun, “Syekh Nawawi Al-Bantani: Lokomotif Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Website http://shofasaid.blogspot.com/, Diakses 14 April 2014.
[2] Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan
Syeikh Nawawi Al-Bantani, (Yogyakarta: Datamedia, 2007), hlm. 278.
[3] Harun Nasution dkk (ed.), Ensiklopedi
Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Binbaga PT Agama Islam, 1987), hlm.
666.
[4] Ma’ruf Amin dan Nasruddin Anshory, “Pemikiran
Syekh Nawawi Al-Bantani”, Pesantren, No 1 /Vol. VI/1989, hlm. 95-96.
[5] Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an Hubungan antaragama menurut syeikh
nawawi banten, (Bandung: Teraju PT Mizan Publika, 2004), hlm. 49.
[6] Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimipi bermain dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temanya beramai-ramai pergi ke laut dan air lautpun di minumnya seorang diri hingga mengering. Lihat Sya'roni As-Samfuriy, “Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani Al-Jawi”, dalam Website http://biografiulamahabaib.blogspot.com/2012/10/syekh-nawawi-al-bantani.html.I Diakses 14 April 2014.
[7] Lihat Sri Naharin, “Pemikiran tasawuf Imam
Nawawi al-Bantani dan M. Shaleh Darat Al-Samarani”, Tesis, Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,
2006), hlm. 25.
[8] Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara
itu mulai penggembaranaanya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah
Jawa Timur. Namun sebelum berangkat. Syekh Nawawi harus menyanggupi syarat yang
diajukan oleh ibuny, “kudo’akan dan
kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa yang
sengaja ku tanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. Dan
Syekh Nawawi pun menyanggupinya. Maka berangkatlah Syekh Nawawi menjalankan
kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Setalah tiga tahun di
Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat)
khusus belajar Lughat (bahasa) beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa
Timur .namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, maka harus mengikuti
tes terlebih dahulu. Ternyata mereka bertiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut
Kiyai barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengulangi mondok, “ Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu
sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.” Terang
sang Kiyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.
Tidak lama setelah kepulangannya, Syekh
Nawawi dipercaya untuk mengasuh pondok yang telah dirintis ayahnya. Di usianya
yang masih relatif muda, beliau sudah tamapk kealimannya sehingga namanya mulai
terkenal dimana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang berdatangan
dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka Kyai Nawawi
berinisiatif pindah ke daerah Tanara Pesisir. Lihat Sya'roni As-Samfuriy, “Syekh Nawawi bin
Umar Al-bantani Al-Jawi”, dalam Website http://biografiulamahabaib.blogspot.com/2012/10/syekh-nawawi-al-bantani.html. Diakses 14 April 2014.
[9] Tim Penyusun, Ensiklopedi Pendidikan Islam
Jilid IV, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 23-24; Harun
Nasution dkk (ed.), Ensiklopedi Islam, hlm 667.
[10] Sri Naharin, “Pemikiran tasawuf Imam
Nawawi al-Bantani…..hlm. 26.
[11] M. Ulul Fahmi, Ulama Besar Indonesia:
Biografi dan Karyanya, (Kendal: Pustaka Amanah, 2008), hlm. 8.
[12] Beliau menerima murid baru, sejak tingkat
permulaan tata bahasa Arab (mubtadi), disamping murid yang sudah cukup
pintar dan yang mengajar sendiri di tempat mereka. Golongan ini juga mengambil
alih sebagian tugasnya di bidang pendidikan dasar seperti juga beberapa orang
yang hidup di rumahnya (antara lain Adiknya sendiri Abdullah umur 16 tahun,
yang sepanjang hidupnya dididik oleh oleh kakaknya). Dalam Maragustam Siregar,
Pemikiran Pendidikan…hlm. 104
[13] Ma’ruf Amin dan Nasruddin Anshory, “Pemikiran…hlm.
667; Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan…hlm. 103
[14] Setelah Indonesia merdeka, kitab-kitab
karangan syekh Nawawi dicetak ulang berkali-kali, bukan hanya di Mesir dan
Makkah saja, tapi juga di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Lihat Muhammad
Hanafi, “Pemikiran Kalam Imam Nawawi Al-Bantani dalam Kitab Qatr Al-Gais
(1230-1314 H/1815-1897 M) Tahqiq dan Dirasah”, Tesis. Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,
2010), hlm. 30.
[15] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren;
Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1985), hlm.
89.
[16] M. Th. Moutsma, A. J. Wensinch, dkk, (ed.), First
Encyclopedia of Islam 1913-1936, Volume VI, (Leiden: E. J. Brill, 1987),
hlm. 667-668.
[17] Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek
tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.
122-123. Lihat juga Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren...hlm. 88.
[18] Maragustam Siregar, Pemikiran
Pendidikan....hlm. 250.
[19] Suwito dan Fauzan, Sejarah Para
Tokoh Pemikiran Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), hlm. 294.
[20] Maragustam, Pemikiran... hlm. 252.
[21] Ibid., hlm. 253.
[22] Ibid., Maka dari itu Tuhan memberi
tugas amanah yang berat, maka Dia memberi berbagai potensi kepada manusia,
kebebasan berkehendak (free will), berkemauan dan berbuat (free act),
menyediakan alam seisinya sebagai medan empirik.
[23] Maragustam, Pemikiran... hlm. 200
[24] Diantara ayat-ayat yang dijadikan dalam
penentuan tujuan pendidikan menurut Syekh Nawawi yakni QS. Al-Baqarah (2): 21,
al-Anbiya’ (21): 25, dan al-Nahl (16): 36.
[25] Maragustam, Pemikiran... hlm. 211.
[26] Tujuan-tujuan pendidikan yang digagas oleh
Syekh Nawawi tersebut juga terekam dalam salah satu kitabnya. Lihat Syekh
Nawawi al-Jawi, Syarh Marâq Al-‘Ubûdiyah, (Indonesia: Al-Haramain,
t.th), hlm. 3.
[27] Maragustam, Pemikiran Pendidikan... hlm.
216-217
[28] Ibid., hlm. 218
[29] Ibid., hlm. 222-223
[30] Ibid., hlm. 266
[31] Ibid., hlm. 267.
[32] Ibid., hlm. 268.
[33] Menurut Muhaimin, tipologi filsafat pendidikan
Islam yang Perenial-Esensialis Mazhabi dapat dilihat dari tiga sisi yakni
parameter, ciri-ciri pemikirannya, dan fungsi pendidikan Islam. Dari segi
parameter, ciri-cirinya ialah bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah; regresif
ke masa pasca salaf/klasik; konservatif (mempertahankan dan melestarikan
nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya secara turun-temurun. Ciri-ciri
pemikirannya ialah menekankan pada pemberian syarah dan hasyiyah terhadap
pemikiran pendahulunya; kurang ada keberanian mengkritisi atau mengubah
substansi materi pemikiran para pendahulunya. Fungsi pendidikan Islam ialah
melestarikan dan mempertahankan nilai dan budaya serta tradisi dari satu
generasi ke generasi berikutnya dan pengembangan potensi dan interaksinya
dengan nilai dan budaya masyarakat terdahulu. Lihat Muhaimin, Wacana
Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.
65.
[34] Maragustam, Pemikiran Pendidikan....hlm.
269.
[35] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 135
[36] Maragustam, Pemikiran Pendidikan....hlm.
270.
Komentar
Posting Komentar