PENGARUH FILSAFAT YUNANI DALAM ILMU NAHWU (Pendekatan Historis-Epistemologis)



A.  Pendahuluan
Ilmu Nahwu merupakan salah satu cabang pengetahuan tradisional Islam terpenting, khususnya terkait dengan masalah kebahasaan. Nahwu sebagai suatu disiplin keilmuan muncul pertama kali pada abad ke-1 H di Bashrah atas prakarsa Abu al Aswad al-Dualiy. Nahwu merupakan ilmu yang lebih dahulu muncul dibanding dengan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya.[1]
Pada masa awal kelahirannya, ilmu ini dimaksudkan sebagai panduan dan kaidah bagi bahsa Arab yang benar dan fasih. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, ilmu nahwu telah berubah menjadi suatu disiplin yang pelik dan rumit. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang turut mematangkan dan mempengaruhi disiplin ini, terutama pengaruh logika formal, filsafat dan ilmu kalam.
Karenanya, dalam menyusun kaidah-kaidah nahwiyyah pun para ahli nahwu menggunakan metode logika formal dan falsafati yang sarat akan alasan, sylogisme dan terma-terma lain yang diadopsi dari disipilin lain itu. Akibatnya, nahwu telah kehilangan fungsinya sebagai kaidah yang simpel dan membantu para peminat bahasa Arab, dan bahkan ia seringkali dituduh sebagai penghambat mempelajari bahasa Arab. Aspek tersebut terakhir inilah yang akan menjadi kajian tulisan ini, sejauh mana filsafat atau logika formal telah berpengaruh atas nahwu yang oleh Ibnu Khuldun dianggap sebagai bagian integral dari seluruh pilar linguistik Arab (‘Ulûm al-Lisân al Arab).[2]

B.  Awal Munculnya Ilmu Nahwu
Ilmu nahwu merupakan salah satu bidang ilmu bahasa yang merupakan salah satu unsur terpenting dalam memahami bahasa Arab. Kata nahwu ditinjau dari bahasa adalah bentuk mashdar dari kata  نحوا, yang artinya menuju, arah, sisi, seperti, ukuran, bagian, dan tujuan.[3] Sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang membahas keadaan setiap akhir kata baik yang mu’rab (berubah) atau yang mabni (tetap) dalam sebuah kalimat.[4]
Di dalamnya kita mengetahui apa yang wajib terjadi dari harakat akhir dari suatu kata, dari rafa’ atau nasab, atau jar atau jazem, atau tetap saja pada suatu keadaan setelah kata tersebut tersusun di dalam satu kalimat. Dalam mengetahui ilmu nahwu adalah satu kepastian bagi setiap orang yang ingin betul dalam menulis, berpidato dan mempelajari sejarah kesusasteraan.
Berbagai literatur Arab yang membahas historisitas nahwu hampir dapat dipastikan bahwa pada umumnya memiliki nuansa pengkajian yang seirama, yaitu terfokus pada dua hal: peletak dasar (penggagas) disiplin nahwu, dan kedua latarbelakang kelahirannya. Terkait dengan soal pertama, perbincangan yang mewarnai berbagai literatur Arab berkisar pada “pro-kontra” dalam memastikan nama utama yang dianggap sebagai penggagas ilmu nahwu ini. Paling tidak terdapat lima nama yang disebut-sebut secara kontroversial sebagai panggagasnya, yaitu; Abu al-Aswad al-Du’ali, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Hurmuz dan Nashr bin Ashim al-Laitsi.[5]
Sementara terkait dengan latar belakang yang mendorong lahirnya ilmu nahwu ini hampir semua literatur yang tersedia sependapat yaitu disebabkan karena semakin meluasnya kesalahan-kesalahan berbahasa secara baik dan benar menurut standar bahasa Arab yang fasih, atau yang lebih akrab disebut dengan istilah “al-Lahn”.[6]
Terlepas dari faktor utama yang mendorong proses ilmiah bahasa Arab (kodifikasi dan perumusan gramatikanya), misalnya saja demi menjaga kemurnian bahasa al-Quran atau karena meluasnya “lahn” seperti di tengah masyarakat seperti disinggung di atas, atau siapapum penggagas utama cabang pengetahuan nahwu ini, yang pasti aktifitas ilmiah tersebut telah menjadi catatan penting dalam sejarah intelektual Islam yang menandai adanya suatu perubahan radikal dalam dunia kebahasaan Arab. Aktifitas intelektual tersebut telah merubah bahasa Arab dari sebuah bahasa non ilmiah (tidak dapat dipelajari dengan metode ilmiah) menjadi bahasa ilmiah, bahasa yang memiliki aturan dan sistem seperti lazimnya obyek ilmiah lainnya.
Dalam kaitan ini, Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H) dipandang sebagai orang yang paling berjasa dalam proses ilmiah yang sebenarnya dalam bahasa Arab.[7] Pengetahuannya yang begitu luas baik tentang hadits, fikih, bahasa, matematika dan logika formal (manthiq) dan didukung dengan kecerdasan yang luar biasa, ilmu nahwu ia kembangkan sedemikian rupa baik secara teoretik maupun cakupan kajiannya. Dengan kata lain, bahasa Arab mulai benar-benar menjadi bahasa yang ilmiah dan dapat dipelajayjri secara metodologis dan sistematis sejak ia dibuat rumusan tatabahasanya yang komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi ini.[8]

C.  Prinsip-prinsip dalam Nahwu (Adillah al-Nahwy)
Sejak masa kelahiranya pada abad pertama hijriyah dan pertumbuhannya, Ilmu nahwu, seperti dikatakan Tamam Hassân telah menunjukkan karakter dan sifat keilmiahannya meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana dimana secara metodologis karakter–karakter tadi dapat disebut sebagai prinsip-prinsip atau tata bangun (al-Haikal al-Binyawi) pengetahuan ini.[9]
Nahwu sebagai sebuah cabang kelimuan linguisitik Arab, dalam pertumbuhan dan perkembangan juga memiliki beberapa prinsip atau elemen utama pembentukan nahwu yang oleh sebagian grammarian Arab disebut “adillah al-nahwy” atau “ushul al-Nahwy”.[10] Menurut Tamâm Hassân, ada tiga prinsip atau tepatnya elemen utama pembentukan nahwu yaitu: al-simâ’, al-istishâb dan al-qiyâs. Pertama, Al-Simâ’ secara harfiah berarti mendengar atau mendengarkan (informasi), tetapi kata tersebut memiliki pengertian yang lebih luas dari sekedar arti di atas. Al-Simâ dalam konteks nahwu berarti sebuah penelitian atas suatu peristiwa bahasa yang dilakukan oleh para ahli dengan cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk memastikan keotentikannya dan baru kemudian dijadikan sebagai landasan teoretis.[11]
Kedua, al-Istishab. Pada dasarnya al-istishab merupakan istilah atau term fiqh yaitu setia atau tetap mempertahankan perkara yang ada selama belum terdapat hal yang merubahnya atau konsisten terhadap suatu hal dan menafikan (menegasikan) sesuatu yang patut dinegasikan.[12] al-Istishâb, adalah mempertahankan atau setia pada suatu kaidah kebahasaan yang dirumuskan atau ditetapkan para ahli nahwu berdasarkan al-Simâ’ pada bentuk aslinya. Ketiga. Al-Qiyas. Prinsip muncul dan digunakan dalam merumuskan kaidah kebahasaan seiring dengan dimulainya permusan dasar-dasar ilmu nahwu. Dalam berbagai literatur yang membicarakan teori dan gramatika bahasa Arab, hampir seluruhnya menyebutkan bahwa prinsip al-Qiyâs telah mulai digunakan oleh tokoh yang dianggap sebagai bapak Ilmu Nahwu, Abu al-Aswad al-Du’ali, kemudian diperluas pemaknaan, pengertian dan penggunaannya oleh para ahli nahwu generasi selanjutnya terformula dalam mazhab-mazhab nahwu itu.[13]
al-Qiyâs adalah menganalogikan suatu hal (kaidah bahasa) yang belum ada keputusan kaidahnya kepada bahasa yang telah ada ketetapan kaidahnya.[14] Atau menurut Ibrahim Anis al-Qiyâs dalam nahwu adalah:”menjadikan bahasa yang dianggap benar (fasih) sebagai ukuran atau analogi dan model pembentukan suatu kalimat tertentu”. Jadi, al-Qiyas adalah membentuk pola bahasa dengan mengikuti pola bahasa yang telah ada sebelumnya, baik dalam segi struktur kalimatnya maupun ketentuan I’rabnya.[15]
Dengan kata lain, al-Qiyas semula merupakan pengembangan lebih lanjut dari prinsip al-Sima’ yang telah muncul sebelumnya. Itu sebabnya, para ahli nahwu generasi awal juga terkadang berbeda pendapat sendiri untuk menentukan sebuah kasus dalam bahasa apakah ia sima’i atau qiyasi. Seperti dalam kasus al-Sima’ yang memunculkan ragam pandangan antara mazhab Kufah dan Bashrah, dalam masalah al-Qiyas hal serupa juga terjadi. Bagi mazhab Kufah, semua yang mereka dengar dari orang Arab (kaum badui khususnya), tak peduli apakah informasi yang mereka peroleh itu berasal dari satu orang atau banyak orang, semuanya dapat dijadikan acuan untuk membuat rumusan serupa dalam menentukan kaidah kebahasaan. Sementara mazhab Bashrah bersikap sebaliknya.
Mereka amat selektif dan berhati-hati. Hanya riwayat yang benar-benar yang telah disepakati kebenarannya oleh banyak orang yang mereka jadikan landasan bagi perumusan dan pembentukan kaidah bahasa. Tetapi sisi lemah mazhab Bashrah adalah adanya pemaksaan atau kalim kebenaran rumusan mereka sebagai barometer benar dan tidaknya sebuah bahasa. Mereka kurang apresiasif terhadap perbedaan yang ada meskipun, misalnya, bahasa itu diucapkan atau dikemukakan oleh orang Arab yang dianggap sangat fasih dalam berbahasa.

D. Pengaruh Logika dalam Ilmu Nahwu
Problematika keterpengaruhan linguistik Arab (dalam hal ini an-nahwu al-‘Araby) dengan logika dan filsafat Yunani merupakan problematika yang amat kompleks dan hal ini merupakan salah satu problematika yang amat besar yang dikaji dalam prinsip-prinsip pemikiran (nalar) Arab secara umum.[16] Tampaknya sangat sulit untuk memberi batasan secara detail mengenai sejauhmana hubungan antara grammar Arab dengan ilmu-ilmu non Arab yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa keemasannya.
Secara umum nalar (al-fikr) Arab berkembang seiring dengan berkembangnya Islam. Dasar-dasar ilmu keislaman yang beragam tersebut telah terformulasi pada masa Umayyah yakni sebelum adanya pengaruh-pengaruh peradaban asing dimana interaksi dengan kebudayan asing baru terjadi pada masa Abbasiyah, seperti fiqh, ulumul qur’an yang meliputi qira’at, tafsir, hadist, dan ilmu-ilmu bahasa Arab telah berkembang pada masa pekembangan Islam hingga filsafat islam yang akar kemunculannya pertama kali berasal dari ilmu kalam (teologi islam).
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip nahwu di atas, seperti telah disebutkan, dikalim sebagai temuan asli para ahli bahasa Arab yang berpikir menggunakan logika natural mereka, tetapi dalam perkembangannya, nahwu, menurut banyak ahli tidak lepas dari pengaruh filsafat yang berkembang dan sangat diminati saat itu. Filsafat dimaksud di sini bukanlah filsafat spekulatif, tetapi logika formal yang merupakan metode berpikir filosofis yang lalu menjadi bagian dari filsafat itu sendiri. Dan disisi lain ada sebagian kalangan ulama yang tetap membela ilmu nahwu sebagai pemikiran murni bangsa Arab sebagai sebuah peradaban pemikiran atau nalar Arab.

1.      Konsep Keterpengaruhan:  Pendapat al-Mua’ayidun (Pro)
Orang yang pertama menyatakan adanya pengaruh filsafat Yunani dan logika adalah Adalbertus Merx (1889), seorang orientalis berkebangsaan German. Pada akhir abad sembilan belas, ia menulis sebuah buku “Historia artis gramaticae apud Syros” (Târîkh Shinâ’at al-Nahwi al-Siryâni- Sejarah kreasi gramatika Suryani). Dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa nahwu yang dikembangkan oleh bangsa Arab dipengaruhi oleh logika formal Aristoteles setelah sebelumnya berkembang di Syria. Pengaruh logika formal tersebut, menurutnya, terutama pada sejumlah terminologi nahwu dan sistem pembagian kalimat.[17] Analisis Merx ini lalu diikuti oleh sejumlah orientalis lain dan akhirnya juga oleh sebagian penulis Arab sendiri baik yang pro maupun yang kontra.
Inti dari berbagai kajian yang menyimpulkan adanya pengaruh filsafat terhadap nahwu ialah ada dua hal; pertama pengaruh dari segi metodologi, dan yang kedua dari segi terminologi. Menurut Merx, misalnya, ada beberapa teori nahwu yang memiliki akar Aristotelian, diantaranya adalah: (a) pembagian tiga kalimat (kata) dalam nahwu yaitu kata Isim, fi’il, dan huruf, menurut Merx, semua itu meniru konsep Yunani: onoma, rhema dan sundesmos, (b), konsep i’rab, Merx mengaitkannya dengan kata-kata Yunani hellenizein, hellenismos, (c), Konsep tentang gender (al-Jins) yang membedakan antara laki-laki (muzakkar) dan perempuan (mu’annats) berasal dari konsep “genos”, (d), konsep dzaraf (al-Dzarf) sebagai kata keterangan waktu dan tempat, menurut Merx berasal dari konsep Atistoteles tentang ruang dan waktu (space and time), (e), istilah hal (al-Hâl) oleh Merx dikaitkan dengan dua istilah Yunani hexis dan diathesis, (f) sedang konsep tentang khabar (al-Khabar, predicate), terpengaruh oleh konsep kategoroumenon.[18]
Analisis serupa juga disimpulkan oleh Rundgren (1976), seperti halnya Merx, ia juga menyimpulkan bahwa beberapa konsep nahwu Arab memiliki kesamaan dalam beberapa terminologi Yunani seperti istilah “sharf” (al-Sharf), mirip dengan “klisis” (flection), i’rab (al-I’râb), mirip dengan “hellenismos” (declension), istilah “musnad ilaih” (al-Musnad ilaih) mirip dengan istilah “hupokeimenon”, (subject), sedang khabar (al-Khabar) mirip dengan istilah “kategoroumenon” (predicate). Bahkan istlah “nahwu” sendiri oleh Rundgren dikaitkan dengan istilah “analogia” dan para ahli nahwu generasi pertama menurutnya menjadi pengkaji masalah analogi (kias) dalam kalimat.[19]
Sayangnya, Rundgren sama sekali tidak dapat membuktikan secara historis adanya keterkaitan terminologi “nahwu” dengan istilah Yunani itu, juga “aktifitas para nuhât” sebagai peminat pengetahuan “analogia”, sehingga pengkaitan itu hanya bersifat asumsi belaka, lagi pula secara semantik antara istilah “nahwu” dan “analogia” memiliki pengertian yang sangat berbeda. Rundgren juga mengklaim konsep “mustaqîm dan muhâl” yang diajukan oleh Sibawaih pada bagian awal karyanya “Kitâb” sebagai terkait dengan konsep Yunani tentang “arthos” dan “adunatos”.
Baik analisis Merx maupun Rundgren meskipun tampak dapat diterima, menurut Versteegh, lemah dari segi argumentasinya. Kelemahan paparan Merx adalah dari segi soal waktu atau kronologinya. Sebab, teori-teori nahwu yang dikembangkan oleh bangsa Arab berlangsung pada priode dimana filsafat maupun logika formal Yunani belum dikenal atau belum berkembang di sana, karena kajian-kajian nahwu pertama berlangsung sebelum adanya penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Sedangkan Rundgren, menurut Versteegh, terlampau menjeneralisir keterkaitan antara nahwu dengan filsafat, terutama yang terkait dengan beberapa kategori atau terminologi tanpa dapat menegaskan dari segi apa dan dimana letak kesamaan antara keduanya.
Oleh karena itu, Versteegh mengajukan sebuah teori lain tentang pengaruh filsafat terhadap nahwu ini. Menurutnya, pengaruh filsafat terhadap nahwu ada yang bersifat langsung (direct influence) dan bersifat tidak langsung (indirect influence). Yang pertama, (direct influence) terjadi pada masa penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab pada abad ke tiga dan ke empat hijriah, sedangkan yang kedua (indirect influence) berlangsung pada saat adanya kontak antara kebudayaan Arab dan Yunani (Hellenis) di wilayah atau provinsi kerajaan Bizantium yang dikuasai Islam.[20]
Uraian di atas menjelaskan bahwa baik Merx, Rundgren maupun Versteegh berkesimpulan bahwa nahwu baik dari segi konsep maupun terminologinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani, terutama Aristotelian. Yang membedakan ketiga kesimpulan itu adalah dari segi proses keterpengaruhannya. Menurut Merx, pengaruh filsafat terhadap nahwu adalah melalui karya-karya filsafat Yunani setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Syria, sedangkan menurut Rundgren, pengaruh filsafat itu telah ada jauh sebelumnya, yaitu melalui terjemahan karya-karya filsafat ke dalam bahasa Parsi yang dilakukan oleh Akademi Jundisyapur, baru dari bahasa Parsi ini diterjemahkan ke dalam bahasa Syria. Sementara manurut Versteegh, pengaruh filsafat terhadap nahwu berlangsung dengan dua cara: “langsung” (proses terjemahan karya-karya Yunani) dan “tidak langsung” (mengadopsi sistem pengajaran gramatika Yunani) ketika terjadi akulturasi antara budaya Arab dan budaya Hellenis di wilayah penaklukan Islam di imperium Bizantium.
Sebagian lain memperkuat pandangan yang dikemukakan orientalis di atas. Abdurrahmân al-Hâj Shâleh, misalnya, menduga bahwa definisi “huruf” (al-Harf) yang dikemukakan oleh Sibawaih merupakan peniruan pengertian “sundesmos” (al-Ribâth) yang dikemukakan Aristoteles. Menurut Aristoteles, sundesmos adalah suatu kalimat yang tidak memiliki makna apa-apa, lalu Sibawaih pun mendefinisikan huruf sebagai sesuatu yang juga tidak menunjukkan arti atau pengertian apapun.[21] Demikian pula yang dikatakan Jawwâd ‘Ali, menurutnya tidak tertutup kemungkinan bahwa pembagian kalimat (Arab) atau kata (Indonesia) oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Abu al-Aswad al-Du’ali ke dalam “isim, fi’il dan huruf” terinspirasi oleh kontak mereka dengan komunitas intelektual di Hira atau dengan para intelektual Irak yang telah mengenal gramatika dan ilmu bahasa saat itu. Senada dengan pendapat sebelumnya, Ishâq Sâka juga mengatakan bahwa sistem pembagian kalimat (kata) Arab ke dalam “isim, fi’il dan huruf” sama persis pembagian kalimat dalam bahasa Yunani yang didasarkan konsep logika.[22]

2.      Konsep Keterpangaruhan:  Pendapat al-Mu’aridhun (kontra)
Wacana keterpengaruhan nahwu oleh filsafat disamping mendapat dukungan dari beberapa penulis Arab sendiri, juga mendapat sanggahan dari sebagian ahli lainnya. Al-Sâmirâ’i, misalnya seperti dikutip Abdul Ghaffâr, mengkritik Ibrâhim Salâmah Mazkûr sebagai telah melakukan kesalahan dalam menentukan kronologi waktu. Menurutnya, tidaklah mungkin Khalil terpengaruh oleh Ishâq bin Hunaîn yang menguasai bahasa Yunani sekaligus sebagai penerjemah, juga dikatakan pernah berguru nahwu pada Khalil itu. Sebab antara keduanya tidak hidup dalam semasa, Khalil meninggal sekitar tahun 180 H, sedang Ishaq lahir sebelum tahun 194.[23] Lagi pula, kata Samira’i, antara bahasa Arab dan Yunani memiliki karakter yang berbeda. Ahmad Mukhtar bahkan secara tegas menyatakan bahwa tidaklah masuk akal jika bangsa Arab ketika menyusun kaidah bahasa mereka dikatakan meniru pola kaidah bahasa Yunani. Jika terjadi kemiripan atau kesamaan dalam soal pembagian kalimat atau terminologi, misalnya, belum dapat dijadikan sebagai bukti asumsi di atas. Sebab adanya pembagian kalimat seperti itu tidak hanya terjadi pada bahasa Yunani saja, tetapi terjadi pada bahasa bangsa-bangsa lain seperti India misalnya.[24]
Alasan lain yang menolak adanya keterpengaruhan tersebut adalah karena bahasa merupakan bersifat sosiologis. Jika fenomena sosial tertentu memiliki karakternya sendiri, maka demikian pula bahasa yang digunakannya. Ia akan tunduk pada sistem yang dianut bersama, jika terjadi penyimpangan terhadapnya, maka ia akan menghadapi sebuah perlawanan dari masyarakat penggunanya. Jadi, bahasa merupakan piranti sosial yang tidak mengandalkan rasio semata. Oleh karena itu, metodenya pun tidak sama dengan metode dalam logika formal yang rasional. Bangsa Arab, seperti telah disinggung pada bagian awal tulisan ini, adalah bangsa yang semula secara sosiologis dan politis terisolir dari pengaruh luar dan memiliki karakter berpikirnya sendiri. Karenanya, kaidah bahasa mereka juga khas mencerminkan karakter mereka yang hanya bertumpa pada kajian teks-teks atau ucapan yang sudah ada, bukan kajian yang bersifat filosofis.
Khoir al-Halwânî bahkan memiliki beberapa argumen yang cukup logis untuk membela nahwu. Diantaranya ialah bahwa asumsi-asumsi yang mengaitkan nahwu dengan filsafat tidak memiliki pijakan dan alasan yang pasti, misalnya, ada yang mengatakan bahwa nahwu dipengaruhi oleh logika Aristoteles, pemikiran Plato, dan ada pula yang mengatakan bahwa nahwu dipengaruhi pemikiran para filosof stoic (al-Rawâqiyyûn). Hal ini, kata Halwani, membuktikan bahwa mereka sendiri masih tidak yakin atau ragu terhadap pendapatnya sendiri.[25]
Demikian pula terkait dengan pembagian kalimat dalam nahwu yang mereka sebut sebagai peniruan terhadap klasifikasi kalimat Yunani oleh Arsitoteles, menurut Halwani tidaklah beralasan sama sekali, sebab, kajian Aristoteles terhadap fenomena bahasa tidak murni kajian linguistik, tetapi merupakan bagian dari logika dan filsafat, terutama terkait dengan masalah “premis” dimana menurutnya setiap premis terdiri atas tiga elemen yaitu; isim, fi’il dan ribath (sundesmos). Dalam pandangan Aristoteles, bahasa erat kaitannya dengan logika, sebab bahasa adalah media yang nisacaya untuk mengekspresikan sebuah “konsep” (al-tashawwur) dan “silogisme” (al-qiyâs). Dengan demikian, kajian bahasa yang dilakukan Aristoteles memiliki tujuan filsafati, yaitu mengkaji pemikiran orang, sebab, menurutnya, dengan mempelajari bahasa, konsep-konsep yang bersifat logik dapat dipelajari.[26]
Hal ini tentu berbeda dengan studi yang dilakukan oleh para liguist maupun grammarian Arab dimana yang menjadi pusat kajian (obyek) bukanlah pikiran yang implisit di dalam sebuah teks, tetapi pernyataan verbal lahiriah atau artifisialnya, baik kata-kata maupun maknanya. Mereka mengkaji bahasa untuk kepentingan bahasa itu sendiri, sementara Aristoteles mempelajarinya sebagai alat berpikir. Karenanya, yang menjadi perhatian utama Aristoteles adalah “dalâlah” (meaning) suatu kalimat, bukan segi bentuk formalnya. Metode inilah, kata Halwani, yang paling menonjol dalam keempat bukunya yaitu; al-Maqûlât, al-‘Ibârah, al-Syi’r dan al-Khitâbah (Catagories, Elocution, Puitica, dan Retorica).[27]
Perbedaan karakter antara bahasa Arab dan Yunani ini juga dapat kita lihat dari rekaman perdebatan panjang tentang nahwu dan logika antara Abu Saîd al-Sîrâfi, pakar nahwu yang sekaligus juga komentator atas “Kitâb” nya Sibawaih dengan Abi Bisyr Matta, pakar mantiq atau logika. Meskipun al-Sirâfi mengakui kelebihan yang dimiliki mantiq, tetapi ia menolak jika nahwu dikatakan memiliki akar mantiq, dengan tegas ia menyatakan:”al-nahwu mantiqun walakinnahû maslûkhun minal Arabiyyah, wal mantiqu nahwun walakinnahû mafhûmun billughah, wa innamâ al-khilâfu baina al-lafdzi wa al-ma’nâ anna al-lafdza thabî’iyyun wa al-ma’nâ ‘aqliyyun” (nahwu adalah mantiq, tetapi ia berakar dari bahasa Arab, sedang mantiq adalah nahwu tetapi dikonsepsikan melalui atau dari bahasa (Yunani), perbedaan antara kata dan makna adalah jika yang pertama bersifat thabi’i (natural) sedang yang kedua bersifat aqli (rasional).[28] Lebih lanjut al-Sirafi mengatakan bahwa logika bahasa tidaklah sama dengan logika filsafat, menurutnya, setiap bahasa memiliki karakternya masing-masing yang tidak mungkin tunduk pada logika Yunani kecuali dipaksakan. Tidak satupun bahasa akan sama dengan bahasa lainnya dari segala sisinya, karakternya, kata bendanya (isim), kata kerjanya (fi’il), hurufnya, strukturnya dan spesifikasi lainnya.[29]
Sekarang bagaimana kaitannya dengan kerangka bangun nahwu seperti al-Simâ’, al-Istishâb,al-Qiyâs dan al-‘Âmil, apakah semua terminologi dan konseptualisasinya juga dipengaruhi logika Yunani atau bahkan berasal darinya? Bagi yang menolak teori “keterpengaruhan”, jawaban mereka sudah jelas, pasti “tidak”. Semua terminologi tersebut genuin dan origin kreasi para ahli nahwu yang muncul dan berkembang secara alami sesuai dengan perkembangan disiplin ini sendiri.

E.   Penutup
Nahwu merupakan salah satu pengetahuan tradisional Arab yang hingga kini masih memiliki daya tarik dan minat kaji dari para linguist dan grammarian Arab maupun non Arab. Sejajar dengan ‘ilm al-Ushûl (kalam), nahwu dalam kategori klasifikasi pengetahuan tradisional klasik termasuk dalam cabang pengetahuan yang telah “nadaja wa ikhtaraqa” artinya pengetahuan yang telah terformulasi secara sempurna, memiliki tata bangun epistemologis dan dapat dikaji secara ilmiah. Dalam perkembangannya ilmu nahwu mengalami perkembangan yang sangat pesat dan banyak melahirkan beberpa tokoh ahli nahwu (nuhat) sebut saja Al Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.175 H), Sibawaih (w.180 H), Al-Akhfash al-Ausath (w.211 H) dan Al- Mubarrid ( w. 286 H) dan ulama-ulama lain yang berkembang di negara Bashrah yang digolongkan menjadi al-Nuhat al-Bashariyun. Disamping itu juga bermunculan para ulama nahwu seperti Al-Kisai ( w.189 H), Al-Farra’ (w.208 H) Tsa’lab (w. 291 H) dll yang selanjutnya dikenal sebagai al–Nuhat al-Kufiyun.
Ternyata masih ada pollemik pada sistem dan aturan nahwu yang berkembang sedemikian rupa sehingga ia dianggap telah dipengaruhi oleh filsafat, tepatnya oleh logika formal (mantiq) sehingga ilmu ini menjadi kian rumit dimengerti dan dipelajari. Dalam menyikapi hal ini para ulama terpecah menjadi dua golongan, pro dan kontra. Pendapat pro datang kalangan orientalis seperti Adalbertus Merx, Rundgren, Versteegh dan lain-lain. Disisi lain ada pendapat ulam yang kontra terhadap adanya keterpengaruhan filsafat terhadap nahwu, diantaranya yaitu, Al-Sâmirâ’i, Ahmad Mukhtar, Khoir al-Halwânî, Abu Saîd al-Sîrâfi dan lain sebagainya. Pendpat dan klaim-klaim tersebut tidak sedikit dipengaruhi oleh adanya ta’ashub (fanatik) terhadap golongan-golongan tertentu.


Daftar Pustaka
Abd al-‘Al Salim Mukrim, al-Qurân al-Karîm wa atsaruhu Fi al-Dirâsat al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Maarif, t.t.
Abdul Ghaffâr Hâmid Hilâl, ‘Ilm al-Lughah Baina al-Qadîm wa al-Hadîts, Mesir: Matba’ah al-Jablawi, 1986.
Abu Hayyân al-Tauhidi, Kitâb al-Imtâ wa al-Mu’ânasah, Beirut: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1953.
Ahmad Afify. Al-Mandzumah Al Nahwiyah al- Mansubah li Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy. Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah, 2003.
C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis In Early Islam, Leiden: E.J. Brill, 1993.
Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah .Mesir: Dar al-Maaris, t.t.
Ibrahim Anis, Min Asrâr al-Lughah, Mesir:Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, 1975.
Lois Ma’luf,  Al Munjid fi al Lunghah wa al A’lam. Beirut: Al Maktabah al Syarqiyah, 1986.
Muhammad Abduh Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1985.
Muhammad Al Thanthawiy, Nasy`ah al Nahw wa Tarîkh `Asyhar al Nuhâh. Lubnan: Alam al Kutub, 1997.
Muhammad Khoir al-Halwani, Baina Mantiq Aristo Wa al-Nahwi al-‘Arabi Fi Taqsîm al-Kalâm, Majalah al-Maurid, Edisi I, 1980.
Muhammad Salim shaleh, Ushul al-Nahwy: Dirasah fi fikry al-Anbary, Cairo: Dar al-Salam, 2007.
Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Syathir Ahmad Muhammad, al-Mujaz fi Nasy’ah al-Nahwy, Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1983.
Syauqi Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah Mesir: Dar al-Maaris, t.t.
Tamam Hassân, al-Ushûl, Dirâsah Ibistimûlujiyyah li al-Fikr al-Lughawi ‘inda al-‘Arab: al-Nahwu, Fiqh al-Lughah, al-Balâghah, Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1982.
Zamzam Afandi Abdillah, Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu: Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya., No. 2. Vol. I. 2003.





[1] Tallal Allamah, Tatawwur al Nahwi al Arabi fi Madrasatai al Bashrah wa al Kufah. (Beirut: Darl al Fikr al Lubnani, 1993). hlm. 15.
[2] Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.). hlm. 453. Menurutnya bahwa pilar linguistik Arab (‘Ulûm al-Lisân al Arab) itu terdiri empat cabang ilmu, yakni: Ilmu Bahasa (‘Ilm al Lughah), Ilmu Nahwu (‘Ilm al Nahwi), Ilmu Bayan (‘Ilm al Bayân) dan Imu Sastra (‘Ilm al Adab).
[3] Lois Ma’luf,  Al Munjid fi al Lunghah wa al A’lam. Beirut: Al Maktabah al Syarqiyah, 1986). hlm. 796. Lihat pula Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1397.
[4] Muhammad Al Thanthawiy, Nasy`ah al Nahw wa Tarîkh `Asyhar al Nuhâh. (Lubnan: Alam al Kutub, 1997). hlm. 1.
[5] Lihat, Abd al- ‘Al Salim Mukrim, al-Qurân al-Karîm wa atsaruhu Fi al-Dirâsat al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Maarif, t.t.), hlm. 49. Bandingkan, Abdul Aziz Ahmad Allam, Min Târîkh al-Nahwi al-Arabi dalam majalah “Majallah”, Jami’ah al-Imam bin Saud, edisi II, 1401-1402, lihat pula, Syauqi Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah (Mesir: Dar al-Maaris, t.t.), hlm. 11-13.
[6] Lihat. Syathir Ahmad Muhammad, al-Mujaz fi Nasy’ah al-Nawy, (Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1983), hlm. 5-14. Dalam masalah “lahn’ ini. Syahthir mengatakan bahwa istilah “lahn” telah dikenal dan ada sejak masa Jahiliyah dan masa rasulullah saw.
[7] Pada abad ke-2 Hijriyah nahwu dikembangkan oleh Al Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.175 H)  dengan mematangkan teori  nahwu yang disusun   Sibawaih (w.180 H) yang nota bene sebagai murid Al Khalil sendiri. Langkah tersebut diikuti oleh Al-Akhfash al-Ausath (w.211 H) dan Al- Mubarrid ( w. 286 H) dan ulama-ulama lain yang berkembang di negara Bashrah yang digolongkan menjadi al-Nuhat al-Bashariyun. Kemudian lahirlah kitab-kitab nahwu sebagai karya-karya monumental seperti Alfiyah Ibnu Malik, Alfiyah Al Suyuthi dan Alfiyah Ibnu Mu’thi. Nahwu juga mengalami perkembangan dan kejayaan di daerah Kufah diantara ulama-ulama yang mengembangkannya adalah Al-Kisai ( w.189 H), Al-Farra’ (w.208 H) Tsa’lab (w. 291 H) dll yang selanjutnya dikenal sebagai al–Nuhat al-Kufiyun.  Pasca perkembangan  di  Bashrah dan Kuffah sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Madaris al-Nahwiyah nahwu mengalami kemajuan di Bagdad, Andalus dan Mesir. Periode ini nahwu sudah mengalami efesiensi dan reformulasi seperti yang disusun oleh Ibn Jinny ( w. 392 H) di Bagdad, Ibn Madha Al-Qurtuby ( w. 592 H) di Andalus, Al-Sayuthi  (911 H) di Mesir. Lihat Ahmad Afify. Al-Mandzumah Al Nahwiyah al- Mansubah li Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy. (Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah, 2003), hlm. 11.
[8] Lihat, Syauqi Dhaif, al-Mâdaris al-Nahwiyyah.....hlm. 34-46. Bandingkan pula dengan Abid al-Jabiri, Takwîn al-Aql al-Arabi......hlm. 81.
[9] Lihat, Tamam Hassân, al-Ushûl, Dirâsah Ibistimûlujiyyah li al-Fikr al-Lughawi ‘inda al-‘Arab: al-Nahwu, Fiqh al-Lughah, al-Balâghah, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1982), hlm. 45. Hasan mengungkapkan bahwa Nahwu sejak abad pertama hijriyah telah membangun sebuah metode dan prinsip-prinsip serta memiliki para ahli yang dapat membedakan diri dari para ahli bahasa secara umum dari segi cara kerjanya.
[10] Dalam hal ini Imam Suyuthi memberikan definisi yang cukup luas mengenai ‘ushul al-nahwy’ yakni ilmu yang mengkaji tentang dalil-dalil (prinsip-prinsip) nahwu yang umum baik berupa prinsip, metode penyimpulan, dan kondisi individu yang menyimpulkan (prinsip) tersebut. Dalam definisi tersebut terakumulasi beberapa prinsip-prinsip pokok mulai dari prinsip sima’, ijma’, qiyas, istishab, jadal (pertentangan), tarjih (penguatan), dan kriteria penarikan kesimpulan ilmu tersebut. Lihat Muhammad Salim shaleh, Ushul al-Nahwy: Dirasah fi fikry al-Anbary, (Cairo: Dar al-Salam, 2007), hlm. 147-148.

[11] Lihat Zamzam Afandi Abdillah, Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu: Pro-Kontra Pengaruh Fil Safat Terhadap Nahwu, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya., No. 2. Vol. I. 2003. hlm. 5-6. Sebenarnya prinsip al-Sima’ ini lebih erat kaitanya dengan masalah budaya daripada sebuah sistem ilmu pengetahuan. Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya “otoritas”. Dalam tradisi Arab klasik terdapat kelompok tertentu yang diyakini memiliki otoritas dalam persoalan bahasa sehingga mereka selalu menjadi rujukan atau bahkan penentu bagi kevaliditasan sebuah teori atau pembuatan aturan dalam tatabahasa, tentu selain al-Qur’an dan al-Hadits. Kelompok pemegang otoritas tersebut adalah masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman atau pegunungan yang dalam sistem sosial Arab biasa disebut dengan “Ahl al-Badwi atau al-‘A’râb”.

[12] Lihat Muhammad Abduh Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1985), hlm. 295-296.
[13] Ibrahim Anis, Min Asrâr al-Lughah, (Mesir:Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, 1975), hlm. 8.
[14] Tamâm Hassân, al-Ushul......hlm. 67-68
[15] Lihat Zamzam Affandi, Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu.....hlm. 5.
[16] Lihat Muhammad Salim shaleh, Ushul al-Nahwy: Dirasah fi fikry al-Anbary......hlm. 127.
[17] Lihat, C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis In Early Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1993), pp.22-27. Lihat pula, Muhammad Khoir al-Halwani, Baina Mantiq Aristo Wa al-Nahwi al-‘Arabi Fi Taqsîm al-Kalâm, Majalah al-Maurid, Edisi I, 1980.
[18] C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar, ...hlm. 22-23.
[19] Ibid., hlm. 24.
[20] Di wilayah penaklukan inilah bangsa Arab bertemu dengan kebudayaan Hellenistik yang diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh imperium Bizntium. Kemudian mereka banyak meminjam beberapa element pengajaran gramatika Yunani tanpa harus mengambilnya secara keseluruhan. Beberapa terminologi nahwu yang terpengaruh oleh terminologi gramatika Yunani menurut Versteegh diantranya ialah:
-Harf (al-Harf) = stoicheion - “particle”
-I’rab (al-I’râb) = hellenismos -.”declension”
-Sharf (al-Sharf) = klisis - “inflection”
-Raf’ (al-Raf’u) = orthe (ptosis) - “nominative”
-Ta’addin (al-Mut’a’ddi) = metabasis - “transitivity”
-Haraka (al-Harakah) =kinesis - “vowel”
-‘Ilal (al-‘Ilal) = pathe - “sound changes”
-Kalâm/Qaul (al-Kalâm/al-Qoul) = logos/lexis - “sentence/utterance”
-Fâida (al-Fâidah) = autoteleia - “meaningfulness”
-Ma’nâ (al-Ma’nâ) = lekton - - “meaning”.
[21] Muhammad Khoir al-Halwani, Baina mantiqi Aristo wa al-nahwi al-‘Arab fi Taqsîm al-Kalâm, majalah al-Maurid, edisi I., 1980.
[22] Ibid.
[23] Lihat, Abdul Ghaffâr Hâmid Hilâl, ‘Ilm al-Lughah Baina al-Qadîm wa al-Hadîts, (Mesir: Matba’ah al-Jablawi, 1986),  hlm. 328.
[24] Ibid.,
[25] Muhammad Khoir al-Halwânî, Baina Mantiqi Aristo wa al-Nahwi al-‘Arabi., 1980.
[26] Ibid.,
[27] Ibid.,
[28] Seputar perdebatan ini baca, Abu Hayyân al-Tauhidi, Kitâb al-Imtâ wa al-Mu’ânasah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1953), hlm. 107-143.
[29] Ibid.,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

الكتابة: مفهومها وخصائصها ونشأتها وأنواعها

PENYUSUNAN BAHAN AJAR BAHASA ARAB

LINGUSTIK MODERN: Perkembangan, Aliran, Tokoh, dan Karakteristiknya