PRINSIP-PRINSIP DALAM EVALUASI



A.   Pendahuluan
Sebagai komponen kurikulum, sebagai rencana dan sebagai kegiatan, peran evaluasi sangat menentukan. Evaluasi bukan saja dapat memberikan informasi mengenai tingkat pencapaian keberhasilan belajar siswa, tetapi juga dapat memberikan informasi mengenai komponen kurikulum lainnya. Artinya, melalui kegiatan evaluasi, komponen-komponen kurikulum lainnya dapat dikaji dan diketahui hubungannya dalam sistem kurikulum. Dalam pelaksanaan pendidikan, banyak keputusan yang harus dibuat oleh seorang guru, antara lain yang menyangkut proses pembelajaran, hasil belajar, seleksi bimbingan, dan sebagainya.
Betapapun baiknya prosedur evaluasi yang diikuti dan betapapun sempurnanya teknik evaluasi yang diterapkan, apabila tidak dipadu-padankan dengan prinsip-prinsip penunjangnya, maka hasilnya akan kurang maksimal dari yang diharapkan. Oleh karena itu, memperhatikan dan menelaah kembali prinsip-prinsip dalam melaksanakan penilian menjadi suatu hal yang penting dan perlu dikedepankan oleh para evaluator atau dalam hal ini adalah para guru dan staf pengajar.
Keberadaan prinsip bagi seorang guru mempunyai arti penting, karena dengan memahami prinsip evaluasi dapat menjadi petunjuk atau keyakinan bagi dirinya atau guru lain guna merealisasi evaluasi dengan baik dan benar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tulisan ini bermaksud memaparkan sekaligus menjelaskan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan evaluasi.
B.   Pembahasan
1.    Pengertian Evaluasi
Secara etimologi, kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris Evaluation akar katanya Value yang berarti menilai atau harga.[1] Dan juga berasal dari kata evaluate yang mempunyai makna, to assess or form an idea of the amount, quality or value (menilai atau membentuk gambaran tentang jumlah, kualitas atau nilai).[2]
Dalam beberapa literatur dan kamus bahasa Arab, evaluasi disebut dengan al-taqwîm yang memiliki beberapa makna[3]; (a) menentukan sesuatu (taqdîr al-syai’) dan memperbaiki yang bengkok (ishlâh i’wijâjihi); (b) mengukur (al-tadbîr) dan (c) menyempurnakan (al-itmâm wa al-ikmâl).[4]
Sementara menurut terminologi, bahwa evaluasi menurut Cross adalah is a process which determines the extent to which objectives have been achieve (evaluasi merupakan sebuah proses yang menentukan kondisi, dimana tujuan telah dapat dicapai).[5] Carl H. Witheringon mengungkapkan bahwa an evaluation ia a declaration that something has or does not have value (evaluasi adalah deklarasi bahwa sesuatu memiliki atau tidak memiliki nilai).[6]
Disamping itu, Daniel L. Stufflebeam dan Anthony J. Shinkfield secara singkat merumuskan evaluasi sebagai berikut, Evaluation ia the systematic assessment of the worth or merit of some object (Evaluasi adalah penilaian sistematis tentang harga atau jasa beberapa objek).[7] Gronlund mengemukakan bahwa, Evaluation is the systematic process of collecting, analyzing and interpreting information to determine the extent to which pupils are achieving instructional objectives (Evaluasi adalah proses yang sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan informasi untuk menentukan tingkat penguasaan peserta didik terhadap tujuan pembelajaran).[8]
Menurut Ahmad Ibrahim Khadr bahwa evaluasi adalah[9]:
عملية منظمة تتضمن جمع المعلومات والبيانات ذات العلاقة بالظاهرة المدروسة، وتحليلها لتحديد درجة تحقيق الأهداف، واتخاذ القرارات من أجل التصحيح والتصويب في ضوء الأحكام التي تَمَّ إطلاقها.
“Evaluasi adalah proses sistematis yang meliputi pengumpulan informasi dan data yang memiliki hubungan dengan realitas materi, menganalisisnya guna untuk menentukan tingkat ketercapaian tujuan serta mengambil keputusan untuk memperbaiki dan membenahinya sesuai dengan ketentuan-ketentua yang telah ditetapkan”.

Sementara para ahli yang lainnya berpendapat bahwa evaluasi adalah[10]:
ويفيد في المجال التعليمي (البيداغوجي): إصدار حُكم على مدى وُصُول العمليَّة التَّعليميَّة إلى أهدافها، وتحقيقها لأغْراضها، والكَشْف عن مختلف الموانع والمعيقات التي تَحُول دون الوُصُول إلى ذلك، واقتراح الوسائل المناسِبة من أجْل تلافِي هذه الموانع
“Evaluasi adalah menentukan tingkat ketercapaian tujuan pembelajaran, realisasi sasaran, menjelaskan berbagai kendala yang menghalangi tercapainya tujuan tersebut, dan merekomendasikan instrumen atau media yang sesuai untuk menghindari kendala-kendala tersebut.”

Sejalan dengan hal tersebut, tim Depdiknas mengemukakan bahwa evaluasi adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh, mengenalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengembilan keputusan.[11]
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, penulis mencoba merumuskan tentang evaluasi yakni suatu proses atau kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk mengumpulkan, menentukan, menganalisis, menginterpretasikan serta menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar dan hasil belajar guna mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, sehingga dapat memberikan informasi yang signifikan dalam memperbaiki dan mengambil keputusan.
Setidaknya, uraian mengenai berbagai pengertian tersebut diatas, telah banyak memberikan informasi dan pengetahuan tentang konsep dasar mengenai evaluasi. Sebab penguasaan dan pemahaman secara mendalam tentang suatu konsep, akan memberikan kemudahan ketika sampai pada tataran praksis dari sebuah konsep tersebut.
2.    Prinsip-prinsip Evaluasi
Di dalam petunjuk pelaksanaan peniliaian yang diterbitkan oleh Ditdikmenum, dikemukakan sejumlah prinsip evaluasi dalam semua program pembelajaran, yaitu; menyuluruh, berorientasi pada tujuan, objektif, koheren, kontinu, pedagogis, validitas dan reliabilitas, serta terbuka. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut[12]:
a)    Komprehensif (al-Syumûliyah)
Dalam konteks pembelajaran bahasa, prinsip menyeluruh mempunyai arti bahwa evaluasi dilaksanakan terhadap semua aspek kebahasaan, yaitu kosakata (mufradat), struktur, ejaan dan unsur-unsur prosodi. Evaluasi juga menyangkut seluruh bidang keterampilan berbahasa (al-maharâh al-lughawiyah), baik reseptif maupun produktif. Lebih dari itu, evaluasi dilakukan terhadap semua ranah kemampuan dan domain yaitu kognitif, psikomotor dan afektif.[13] Oleh karena itu, pembuatan item soal-soal tes hendaklah dilakukan sedemikian rupa yang benar-benar representatif dari aspek-aspek tingkah laku peserta didik.[14]
b)    Obyektif (al-Maudhû’iyah)
Obyektif mengandung arti bahwa informasi dan skor yang diperoleh serta keputusan yang ditetapkan sesuai dengan keadaan siswa yang sebenarnya. Dengan demikian pandangan subjektif pengevaluasi tidak terlibat dalam evaluasi tersebut.[15]


c)    Koherensi (al-Tarâbuth)
Prinsip koherensi yang dimaksud disini adalah kesesuaian evaluasi dengan tiga komponen lainnya dalam program pembelajaran, yaitu tujuan, materi, dan metode. Tidak dibenarkan menyusun alat evaluasi hasil belajar atau evaluasi pencapaian belajar yang mengukur bahan yang belum disajikan dalam kegiatan belajar-mengajar. Demikian pula tidak diterima apabila alat evaluasi berisi butir-butir soal yang tidak berkaitan dengan bidang kemampuan yang hendak diukur.[16]
d)    Kontinyu (al-Istimrâriyah)
Adapun yang dimaksud prinsip ini yaitu bahwa kegiatan evaluasi hasil belajar yang baik adalah evaluasi yang dilaksanakan secara terus menerus (kontinu).[17] Hasil evaluasi yang telah dilaksanakan dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan kegiatan pembelajaran berikutnya, lalu dievaluasi lagi. Hasil evaluasi baru tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan kegiatan pembelajaran selanjutnya.
Kesinambungan kegiatan evaluasi tersebut sesuai dengan tahap-tahap program pembelajaran yang disusun. Tahapan yang dimaksudkan bersifat berjenjang, dalam arti bermula dari setiap episode dalam setiap pertemuan, program perpokok bahasan, unit pelajaran, catur wulanan/semesteran, tahunan, dan akhirnya perjenjang pendidikan. Dengan demikian, evaluasi tidak dilaksanakan sekali saja di awal atau di akhir program, melainkan dilaksanakan selama proses kegiatan belajar-mengajar dan selama program pembelajaran berlangsung.[18]
e)    Goal Oriented (al-Ittijâh ilâ al-hadf)
Sebagaimana dikemukakan, evaluasi merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan tercapai atau tidak. Karena itu, sudah seharusnya evaluasi dilaksanakan dengan mengacu pada tujuannya. Dalam kaitannya dengan program pembelajaran di sekolah yang dikemas dengan basis kompetensi, tujuan dirumuskan secara berjenjang mulai yang paling tinggi, yaitu (1) tujuan pendidikan nasional, (2) kompetensi lintas kurikulum, (3) kompetensi tamatan, (4) kompetensi rumpun mata pelajaran, (5) kompetensi dasar mata pelajaran yang terdiri atas (a) kompetensi dasar, (b) hasil belajar, dan (c) indikator hasil belajar. Evaluasi yang berorientasi pada tujuan dapat tercermin pada kesesuaian alat evaluasi dengan rumusan perilaku yang ditargetkan dalam tujuan.[19]
f)     Pedagogis (al-Ta’lîmiyah)
Disamping sebagai alat penilai hasil atau pencapaian belajar, evaluasi juga perlu diterapkan sebagai upaya perbaikan sikap dan tingkah laku ditinjau dari segi pedagogis. Evaluasi dan hasilnya hendaknya dapat dipakai sebagai alat motivasi untuk siswa dalam kegiatan belajarnya. Hasil evaluasi hendaknya dirasakan sebagai reward yakni sebagai penghargaan bagi yang berhasil tetapi merupakan hukuman (funishmen) bagi yang tidak/kurang berhasil.[20]
g)    Validitas (al-Shihhah) dan Reliabilitas (al-Tsabât)
Validitas atau kesahihan merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa alat evaluasi yang dipergunakan, benar-benar dapat mengukur apa yang hendak diukur. Validitas merupakan ketepatan, misalnya untuk mengukur besarnya partisipasi siswa dalam proses pembelajaran bukan diukur melalui nilai yang diperoleh saat ulangan, tetapi dilihat melalui kehadiran, konsentrasi pada saat belajar, dan ketepatan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, dalam arti relevan dengan permasalahannya.[21]
Sedangkan reliabilitas adalah suatu pengukuran sejauh mana pengukuran tersebut tanpa bias (bebas kesalahan – error free) dan karena itu menjamin pengukuran yang lintas waktu dan lintas beragam item dalam instrumen. Dengan kata lain, keandalan suatu pengukuran merupakan indikasi mengenai stabilitas dan konsistensi dimana instrumen mengukur konsep dan membantu menilai ketepatan sebuah pengukuran. Artinya, hasil dari suatu evaluasi yang dilakukan menunjukkan suatu ketepatan ketika diberikan kepada para peserta didik yang sama dalam waktu yang berlainan.
h)    Terbuka
Proses dan hasil evaluasi dapat diketahui oleh semua pihak yang terkait yaitu sekolah, siswa, dan orangtua. Hal ini berarti, bahwa hasil evaluasi yang dilaksanakan dalam program-program jangka pendek, misalnya evaluasi formatif ataupun evaluasi harian dapat diketahui oleh peserta didik. Bahkan jika siswa meminta keterangan kepada guru tentang sasaran yang akan dievaluasi, guru hendaknya menjelaskan sampai batas-batas tertentu yang tidak menafikan fungsi evaluasi itu sendiri.[22]

3.    Kajian dan Analisis
Keberhasilan proses belajar-mengajar di kelas dapat dilihat dari sejauh mana penguasaan kompetensi yang telah dikuasai oleh seluruh peserta didik di kelas itu. Keberhasilan ini selalu dikaitkan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Pada dasarnya hasil belajar siswa dapat dinyatakan dalam tiga aspek, yang biasa disebut dengan domain atau ranah, yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dalam konteks pembelajaran bahasa Arab, hendaknya ketiga ranah tersebut secara integratif dikuasai oleh peserta didik. Pada umumnya ranah afektif, walaupun sering tidak tampak pada setiap tujuan pembelajaran atau kompetensi yang akan dicapai, tetapi hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi guru dan peserta didik.
Evaluasi atau penilaian berfungsi untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pengajaran dan untuk mengetahui keefektifan proses belajar mengajar yang telah dilakukan guru. Tanpa adanya evaluasi guru tidak akan mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh siswa dan tidak bisa menilai tindakan mengajarnya serta tidak ada tindakan untuk memperbaikinya.
Namun demikian, dalam tataran praktek, masih banyak para guru dan pengajar yang melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam melakukan evaluasi pembelajaran khususnya  pembelajaran bahasa Arab. Dalam hal ini penulis mengelompokkannya ke dalam beberapa hal berikut:
Pertama, kekeliruan sampling (error sampling) yakni kekeliruan yang diperbuat oleh tester (guru) di dalam menentukan butir-butir item sebagai sampel atau representatif dari materi atau bahan pelajaran yang seharusnya diujikan. Kebanyakan tester menyusun tes tidak mengikuti prosedur yang baik. Mereka hanya mengambil sampel materi hanya beberapa bab dan bahasan saja, sehingga hal itu tidak dapat dijadikan cerminan penguasaan dan ketercapaian tujuan pembelajaran bahasa Arab.
Kedua, kekeliruan scoring (error scoring). Yakni kekeliruan hasil pengukuran yang bersumber dari kekeliruan pihak penguji/tester dalam memberikan skor terhadap jawaban-jawaban betul yang telah diberikan oleh testee terhadap butir-butir soal yang diajukan dalam tes.  Seperti  guru menaikkan nilai raport hasil belajar siswa dengan tujuan agar siswanya dapat tuntas semua dalam mencapai nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Namun, pada kenyataannya masih banyak siswa yang nilainya belum mencapai KKM yang telah ditetapkan. Sehingga nilai yang diterima siswa bukan nilai asli dari hasil belajar siswa itu sendiri. Walhasil, kebanyakan guru memberikan scor tidak didasarkan pada objektivitas terhadap hasil tes atau ujian peserta. Hingga akhirnya banyak terjadi malpraktek dalam evaluasi, lantas muncullah istilah ‘Ngaji’ atau ngarang biji (memanipulasi nilai atau scor) di kalangan para tetster.
Ketiga, kekeliruan ranking (error rangking). Yakni kekeliruan yang diperbuat oleh pemberi skor dalam menentukan urutan kedudukan skor yang dimiliki oleh para peserta didik dalam suatu tes atau ujian. Hal ini bisa terjadi akibat adanya beberapa faktor yakni; a) suasana batin yang sedang menyelimuti diri evaluator pada saat pengukuran hasil belajar dilaksanakan; b) Kemungkinan juga adanya sifat pemurah atau sifat pelit yang melekat pada diri evaluator sehingga ia tergerak untuk ‘mengutak-atik’ nilai atau scor peserta didik; c) Terjadi hallo effect, atau evaluator terpengaruh oleh berita, informasi, dan lain-lain yang datang dari teman sejawat; dan d) Evaluator terpengaruh oleh “kesan masa lalu” mengenai hasil-hasil belajar yang telah dicapai peserta didiknya. 
Keempat, kekeliruan pengukuran (error measuring). Realitas di  lapangan mengungkapkan bahwa mayoritas guru bahasa Arab selama ini hanya mengembangkan instrumen evaluasi yang hanya mengukur kemampuan kognitif pesera didik ‘tentang bahasa Arab’ semata, dan belum mengukur tentang bagaimana mereka ‘berbahasa Arab’. Tes untuk mengukur kemampuan berbicara (mahârah al-kalâm) yang semestinya dilakukan secara lisan belum banyak dilakukan oleh guru bahasa Arab. Mengapa hal ini bisa terjadi? Pasalnya, masih banyak ditemukan guru-guru atau pengajar bahasa Arab di beberapa sekolah dan instansi yang belum mampu berbicara bahasa Arab itu sendiri. Begitu juga halnya tentang kemampuan memahami pembicaraan (fahm al-masmû’).

C.   Penutup
Kemampuan melakukan evaluasi pembelajaran bahasa Arab sangat dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana tingkat keberhasilan pembelajaran bahasa Arab selama ini. Oleh karena itu, menjadi hal penting dikedepankan oleh guru untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip tersebut ketika melakukan evaluasi pembelajaran.
Apabila masing-masing prinsip tersebut menjadi dasar pertimbangan dalam melakukan evaluasi, maka hasil dari evaluasi benar-benar dapat dipertanggungjawabkan tingkat kesahihan dan reliabilitasnya. Sehingga dari hasil tersebut, guru dapat mengambil keputusan dan tindakan untuk lebih memperbaiki kualitas proses belajar mengajarnya di kelas.
Dalam hal ini, penulis merekomendasikan kepada para guru dan pengajar bahasa Arab, agar kiranya benar-benar memahami konsep-konsep dasar seputar evaluasi pembelajaran. Sebab dengan dilakukannya evaluasi tersebut, guru senantiasa dapat berimprovisasi dan meningkatkan kualitas belajar mengajarnya.
Daftar Pustaka

A.S Hornby, Oxford Advance Learner’s Dictionary, New York: Oxford University Press, 1995.
Ahmad Ibrahim Khadr, al-Farq baina al-Taqwîm wa al-Taqyîm, dalam http://www.alukah.net/web/khedr/0/50989/. Diakses pada Oktober 2014.
Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
M. Ainin, dkk, Evaluasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat, 2006.
M. Sukardi, Evaluasi Pendidikan (Prinsip dan Operasionalnya), Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Maula Mustofa al-Birjawi, al-Taqwîm fi al-Nizhâm al-Ta’lîm, http://www.alukah.net/social/0/28792/. Akses Oktober 2014.
S.Wojowasito dan Tito Wasito W, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Jakarta: Hasta, 1980.
Sudaryono, Dasar-dasar Evaluasi Pembelajaran, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Sukiman, Pengembangan Sistem Evaluasi, Yogyakarta: Insan Madani, 2012.
Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.



[1] S.Wojowasito dan Tito Wasito W, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, (Jakarta: Hasta, 1980), hlm. 267
[2] A.S Hornby, Oxford Advance Learner’s Dictionary, (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 394..
[3] Di kalangan para peneliti dan praktisi pendidikan banyak yang rancu dan saling tumpang tindih (tadâkhul) dalam penggunaan kedua istilah, yakni al-taqwîm dan al-taqyîm. Sebagian ahli mengatakan bahwa kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama, terutama apabila laporan dan proposal mereka yang berkaitan dengan evaluasi program atau proyek sosial. Namun demikian kedua istilah tersebut memiliki makna menjelaskan nilai dari sesuatu. Sementara itu, kata al-taqwîm digunakan oleh banyak kalangan. Dan memiliki makna menjelaskan nilai dari sesuatu dan memperbaiki atau meluruskan sesuatu yang bengkok (keliru/salah). Adapun kata al-taqyîm hanya memiliki makna memberikan nilai terhadap sesuatu. Maka dari itu, kata al-taqwîm lebih umum dan lebih komprehensif (asymal) daripada kata al-taqyîm. Faktanya bahwa kata al-taqwîm adalah bentuk derivasi (musytâq) dari kata al-qîmah, sementara kata al-taqyîm merupakan bentuk derivasi dari kata al-qiwâm. Kata yang pertama bermakna menentukan (al-taqdîr) dan menilai (al-tatsmîn), dan kata kedua bermakna meluruskan atau memperbaiki (al-ta’dîl).
[4] Lihat Maula Mustofa al-Birjawi, al-Taqwîm fi al-Nizhâm al-Ta’lîm, http://www.alukah.net/social/0/28792/. Akses Oktober 2014.
[5] M. Sukardi, Evaluasi Pendidikan (Prinsip dan Operasionalnya), (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 1
[6] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 5
[7] Sukiman, Pengembangan Sistem Evaluasi, (Yogyakarta: Insan Madani, 2012), hlm 3.
[8] Ibid., hlm 4
[9] Ahmad Ibrahim Khadr, al-Farq baina al-Taqwîm wa al-Taqyîm, dalam http://www.alukah.net/web/khedr/0/50989/. Diakses pada Oktober 2014.
[10] Lihat Maula Mustofa al-Birjawi, al-Taqwîm fi al-Nizhâm al-Ta’lîm, http://www.alukah.net/social/0/28792/. Akses Oktober 2014.
[11] Sukiman, Pengembangan Sistem...hlm. 4
[12] M. Ainin, dkk, Evaluasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang: Misykat, 2006), hlm. 12.
[13] Ibid., hlm. 13
[14] Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 217.
[15] M. Ainin, dkk, Evaluasi dalam Pembelajaran....hlm. 14
[16] Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 20.
[17] Sudaryono, Dasar-dasar Evaluasi Pembelajaran, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 55
[18] M. Ainin, dkk, Evaluasi dalam Pembelajaran....hlm 13
[19] Ibid., hlm. 13-14.
[20] Daryanto, Evaluasi Pendidikan....hlm. 20
[21] Sudaryono, Dasar-dasar Evaluasi....hlm. 55-56
[22] M. Ainin, dkk, Evaluasi dalam Pembelajaran....hlm. 14

Komentar

Postingan populer dari blog ini

الكتابة: مفهومها وخصائصها ونشأتها وأنواعها

PENYUSUNAN BAHAN AJAR BAHASA ARAB

LINGUSTIK MODERN: Perkembangan, Aliran, Tokoh, dan Karakteristiknya