PRINSIP-PRINSIP DALAM EVALUASI
A. Pendahuluan
Sebagai komponen
kurikulum, sebagai rencana dan sebagai kegiatan, peran evaluasi sangat
menentukan. Evaluasi bukan saja dapat memberikan informasi mengenai tingkat
pencapaian keberhasilan belajar siswa, tetapi juga dapat memberikan informasi
mengenai komponen kurikulum lainnya. Artinya, melalui kegiatan evaluasi,
komponen-komponen kurikulum lainnya dapat dikaji dan diketahui hubungannya
dalam sistem kurikulum. Dalam pelaksanaan pendidikan, banyak keputusan yang
harus dibuat oleh seorang guru, antara lain yang menyangkut proses
pembelajaran, hasil belajar, seleksi bimbingan, dan sebagainya.
Betapapun baiknya
prosedur evaluasi yang diikuti dan betapapun sempurnanya teknik evaluasi yang
diterapkan, apabila tidak dipadu-padankan dengan prinsip-prinsip penunjangnya,
maka hasilnya akan kurang maksimal dari yang diharapkan. Oleh karena itu,
memperhatikan dan menelaah kembali prinsip-prinsip dalam melaksanakan penilian
menjadi suatu hal yang penting dan perlu dikedepankan oleh para evaluator atau
dalam hal ini adalah para guru dan staf pengajar.
Keberadaan prinsip
bagi seorang guru mempunyai arti penting, karena dengan memahami prinsip
evaluasi dapat menjadi petunjuk atau keyakinan bagi dirinya atau guru lain guna
merealisasi evaluasi dengan baik dan benar. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka tulisan ini bermaksud memaparkan sekaligus menjelaskan prinsip-prinsip
yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan evaluasi.
B. Pembahasan
1. Pengertian Evaluasi
Secara etimologi,
kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris Evaluation
akar katanya Value yang berarti
menilai atau harga.[1]
Dan juga berasal dari kata evaluate yang mempunyai makna, to assess
or form an idea of the amount, quality or value (menilai atau membentuk
gambaran tentang jumlah, kualitas atau nilai).[2]
Dalam beberapa
literatur dan kamus bahasa Arab, evaluasi disebut dengan al-taqwîm yang
memiliki beberapa makna[3];
(a) menentukan sesuatu (taqdîr al-syai’) dan memperbaiki yang bengkok (ishlâh
i’wijâjihi); (b) mengukur (al-tadbîr) dan (c) menyempurnakan (al-itmâm
wa al-ikmâl).[4]
Sementara menurut
terminologi, bahwa evaluasi menurut Cross adalah is a process which
determines the extent to which objectives have been achieve (evaluasi
merupakan sebuah proses yang menentukan kondisi, dimana tujuan telah dapat
dicapai).[5]
Carl H. Witheringon mengungkapkan bahwa an evaluation ia a declaration that
something has or does not have value (evaluasi adalah deklarasi bahwa
sesuatu memiliki atau tidak memiliki nilai).[6]
Disamping itu,
Daniel L. Stufflebeam dan Anthony J. Shinkfield secara singkat merumuskan
evaluasi sebagai berikut, Evaluation ia the systematic assessment of the
worth or merit of some object (Evaluasi adalah penilaian sistematis tentang
harga atau jasa beberapa objek).[7]
Gronlund mengemukakan bahwa, Evaluation is the systematic process of
collecting, analyzing and interpreting information to determine the extent to
which pupils are achieving instructional objectives (Evaluasi adalah proses
yang sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan
informasi untuk menentukan tingkat penguasaan peserta didik terhadap tujuan
pembelajaran).[8]
Menurut Ahmad
Ibrahim Khadr bahwa evaluasi adalah[9]:
عملية منظمة تتضمن جمع المعلومات والبيانات ذات العلاقة بالظاهرة المدروسة، وتحليلها
لتحديد درجة تحقيق الأهداف، واتخاذ القرارات من أجل التصحيح والتصويب في ضوء الأحكام
التي تَمَّ إطلاقها.
|
“Evaluasi adalah proses sistematis yang meliputi
pengumpulan informasi dan data yang memiliki hubungan dengan realitas materi,
menganalisisnya guna untuk menentukan tingkat ketercapaian tujuan serta
mengambil keputusan untuk memperbaiki dan membenahinya sesuai dengan
ketentuan-ketentua yang telah ditetapkan”.
Sementara para ahli yang lainnya berpendapat bahwa
evaluasi adalah[10]:
ويفيد في المجال التعليمي (البيداغوجي): إصدار حُكم على مدى وُصُول
العمليَّة التَّعليميَّة إلى أهدافها، وتحقيقها لأغْراضها، والكَشْف عن مختلف الموانع
والمعيقات التي تَحُول دون الوُصُول إلى ذلك، واقتراح الوسائل المناسِبة من أجْل
تلافِي هذه الموانع
|
“Evaluasi adalah menentukan tingkat ketercapaian tujuan
pembelajaran, realisasi sasaran, menjelaskan berbagai kendala yang menghalangi
tercapainya tujuan tersebut, dan merekomendasikan instrumen atau media yang
sesuai untuk menghindari kendala-kendala tersebut.”
Sejalan dengan hal
tersebut, tim Depdiknas mengemukakan bahwa evaluasi adalah serangkaian kegiatan
untuk memperoleh, mengenalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil
belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga
menjadi informasi yang bermakna dalam pengembilan keputusan.[11]
Berdasarkan beberapa
pengertian diatas, penulis mencoba merumuskan tentang evaluasi yakni suatu
proses atau kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk mengumpulkan,
menentukan, menganalisis, menginterpretasikan serta menjelaskan tentang hal-hal
yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar dan hasil belajar guna mengetahui
ketercapaian tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, sehingga dapat
memberikan informasi yang signifikan dalam memperbaiki dan mengambil keputusan.
Setidaknya, uraian
mengenai berbagai pengertian tersebut diatas, telah banyak memberikan informasi
dan pengetahuan tentang konsep dasar mengenai evaluasi. Sebab penguasaan dan
pemahaman secara mendalam tentang suatu konsep, akan memberikan kemudahan
ketika sampai pada tataran praksis dari sebuah konsep tersebut.
2. Prinsip-prinsip Evaluasi
Di dalam petunjuk
pelaksanaan peniliaian yang diterbitkan oleh Ditdikmenum, dikemukakan sejumlah
prinsip evaluasi dalam semua program pembelajaran, yaitu; menyuluruh,
berorientasi pada tujuan, objektif, koheren, kontinu, pedagogis, validitas dan
reliabilitas, serta terbuka. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan secara
singkat sebagai berikut[12]:
a) Komprehensif (al-Syumûliyah)
Dalam konteks
pembelajaran bahasa, prinsip menyeluruh mempunyai arti bahwa evaluasi
dilaksanakan terhadap semua aspek kebahasaan, yaitu kosakata (mufradat),
struktur, ejaan dan unsur-unsur prosodi. Evaluasi juga menyangkut seluruh
bidang keterampilan berbahasa (al-maharâh al-lughawiyah), baik reseptif
maupun produktif. Lebih dari itu, evaluasi dilakukan terhadap semua ranah
kemampuan dan domain yaitu kognitif, psikomotor dan afektif.[13]
Oleh karena itu, pembuatan item soal-soal tes hendaklah dilakukan sedemikian
rupa yang benar-benar representatif dari aspek-aspek tingkah laku peserta
didik.[14]
b) Obyektif (al-Maudhû’iyah)
Obyektif mengandung
arti bahwa informasi dan skor yang diperoleh serta keputusan yang ditetapkan
sesuai dengan keadaan siswa yang sebenarnya. Dengan demikian pandangan
subjektif pengevaluasi tidak terlibat dalam evaluasi tersebut.[15]
c) Koherensi (al-Tarâbuth)
Prinsip koherensi
yang dimaksud disini adalah kesesuaian evaluasi dengan tiga komponen lainnya
dalam program pembelajaran, yaitu tujuan, materi, dan metode. Tidak dibenarkan
menyusun alat evaluasi hasil belajar atau evaluasi pencapaian belajar yang
mengukur bahan yang belum disajikan dalam kegiatan belajar-mengajar. Demikian
pula tidak diterima apabila alat evaluasi berisi butir-butir soal yang tidak
berkaitan dengan bidang kemampuan yang hendak diukur.[16]
d) Kontinyu (al-Istimrâriyah)
Adapun yang dimaksud
prinsip ini yaitu bahwa kegiatan evaluasi hasil belajar yang baik adalah
evaluasi yang dilaksanakan secara terus menerus (kontinu).[17] Hasil
evaluasi yang telah dilaksanakan dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan
kegiatan pembelajaran berikutnya, lalu dievaluasi lagi. Hasil evaluasi baru
tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan kegiatan
pembelajaran selanjutnya.
Kesinambungan
kegiatan evaluasi tersebut sesuai dengan tahap-tahap program pembelajaran yang
disusun. Tahapan yang dimaksudkan bersifat berjenjang, dalam arti bermula dari
setiap episode dalam setiap pertemuan, program perpokok bahasan, unit
pelajaran, catur wulanan/semesteran, tahunan, dan akhirnya perjenjang
pendidikan. Dengan demikian, evaluasi tidak dilaksanakan sekali saja di awal
atau di akhir program, melainkan dilaksanakan selama proses kegiatan belajar-mengajar
dan selama program pembelajaran berlangsung.[18]
e) Goal Oriented (al-Ittijâh ilâ al-hadf)
Sebagaimana
dikemukakan, evaluasi merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengetahui
apakah tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan tercapai atau tidak. Karena
itu, sudah seharusnya evaluasi dilaksanakan dengan mengacu pada tujuannya.
Dalam kaitannya dengan program pembelajaran di sekolah yang dikemas dengan
basis kompetensi, tujuan dirumuskan secara berjenjang mulai yang paling tinggi,
yaitu (1) tujuan pendidikan nasional, (2) kompetensi lintas kurikulum, (3)
kompetensi tamatan, (4) kompetensi rumpun mata pelajaran, (5) kompetensi dasar
mata pelajaran yang terdiri atas (a) kompetensi dasar, (b) hasil belajar, dan
(c) indikator hasil belajar. Evaluasi yang berorientasi pada tujuan dapat
tercermin pada kesesuaian alat evaluasi dengan rumusan perilaku yang
ditargetkan dalam tujuan.[19]
f) Pedagogis (al-Ta’lîmiyah)
Disamping sebagai
alat penilai hasil atau pencapaian belajar, evaluasi juga perlu diterapkan
sebagai upaya perbaikan sikap dan tingkah laku ditinjau dari segi pedagogis.
Evaluasi dan hasilnya hendaknya dapat dipakai sebagai alat motivasi untuk siswa
dalam kegiatan belajarnya. Hasil evaluasi hendaknya dirasakan sebagai reward
yakni sebagai penghargaan bagi yang berhasil tetapi merupakan hukuman (funishmen)
bagi yang tidak/kurang berhasil.[20]
g) Validitas (al-Shihhah) dan Reliabilitas (al-Tsabât)
Validitas atau
kesahihan merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa alat evaluasi yang
dipergunakan, benar-benar dapat mengukur apa yang hendak diukur. Validitas
merupakan ketepatan, misalnya untuk mengukur besarnya partisipasi siswa dalam
proses pembelajaran bukan diukur melalui nilai yang diperoleh saat ulangan,
tetapi dilihat melalui kehadiran, konsentrasi pada saat belajar, dan ketepatan
dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, dalam arti relevan dengan
permasalahannya.[21]
Sedangkan reliabilitas
adalah suatu pengukuran sejauh mana pengukuran tersebut tanpa bias (bebas
kesalahan – error free) dan karena itu menjamin pengukuran yang lintas
waktu dan lintas beragam item dalam instrumen. Dengan kata lain, keandalan
suatu pengukuran merupakan indikasi mengenai stabilitas dan konsistensi dimana
instrumen mengukur konsep dan membantu menilai ketepatan sebuah pengukuran.
Artinya, hasil dari suatu evaluasi yang dilakukan menunjukkan suatu ketepatan
ketika diberikan kepada para peserta didik yang sama dalam waktu yang
berlainan.
h) Terbuka
Proses dan hasil
evaluasi dapat diketahui oleh semua pihak yang terkait yaitu sekolah, siswa,
dan orangtua. Hal ini berarti, bahwa hasil evaluasi yang dilaksanakan dalam
program-program jangka pendek, misalnya evaluasi formatif ataupun evaluasi
harian dapat diketahui oleh peserta didik. Bahkan jika siswa meminta keterangan
kepada guru tentang sasaran yang akan dievaluasi, guru hendaknya menjelaskan
sampai batas-batas tertentu yang tidak menafikan fungsi evaluasi itu sendiri.[22]
3. Kajian dan Analisis
Keberhasilan
proses belajar-mengajar di kelas dapat dilihat dari sejauh mana penguasaan kompetensi
yang telah dikuasai oleh seluruh peserta didik di kelas itu. Keberhasilan ini
selalu dikaitkan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai.
Pada dasarnya hasil belajar siswa dapat dinyatakan dalam tiga aspek, yang biasa
disebut dengan domain atau ranah, yaitu domain kognitif, afektif dan
psikomotorik.
Dalam
konteks pembelajaran bahasa Arab, hendaknya ketiga ranah tersebut secara
integratif dikuasai oleh peserta didik. Pada umumnya ranah afektif, walaupun
sering tidak tampak pada setiap tujuan pembelajaran atau kompetensi yang akan
dicapai, tetapi hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi
guru dan peserta didik.
Evaluasi atau penilaian berfungsi untuk mengetahui tercapai
tidaknya tujuan pengajaran dan untuk mengetahui keefektifan proses belajar
mengajar yang telah dilakukan guru. Tanpa adanya evaluasi guru tidak akan
mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh siswa dan tidak bisa menilai
tindakan mengajarnya serta tidak ada tindakan untuk memperbaikinya.
Namun demikian, dalam tataran praktek, masih banyak para guru
dan pengajar yang melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam melakukan evaluasi
pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa Arab. Dalam hal ini
penulis mengelompokkannya ke dalam beberapa hal berikut:
Pertama, kekeliruan
sampling (error sampling) yakni kekeliruan yang diperbuat
oleh tester (guru) di dalam menentukan butir-butir item sebagai sampel atau
representatif dari materi atau bahan pelajaran yang seharusnya diujikan. Kebanyakan
tester menyusun tes tidak mengikuti prosedur yang baik. Mereka hanya mengambil
sampel materi hanya beberapa bab dan bahasan saja, sehingga hal itu tidak dapat
dijadikan cerminan penguasaan dan ketercapaian tujuan pembelajaran bahasa Arab.
Kedua,
kekeliruan scoring (error scoring). Yakni kekeliruan hasil pengukuran yang
bersumber dari kekeliruan pihak penguji/tester dalam memberikan skor terhadap
jawaban-jawaban betul yang telah diberikan oleh testee terhadap
butir-butir soal yang diajukan dalam tes. Seperti guru menaikkan nilai raport hasil belajar
siswa dengan tujuan agar siswanya dapat tuntas semua dalam mencapai nilai KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal). Namun, pada kenyataannya masih banyak siswa yang
nilainya belum mencapai KKM yang telah ditetapkan. Sehingga nilai yang diterima
siswa bukan nilai asli dari hasil belajar siswa itu sendiri. Walhasil,
kebanyakan guru memberikan scor tidak didasarkan pada objektivitas terhadap
hasil tes atau ujian peserta. Hingga akhirnya banyak terjadi malpraktek dalam
evaluasi, lantas muncullah istilah ‘Ngaji’ atau ngarang biji (memanipulasi
nilai atau scor) di kalangan para tetster.
Ketiga,
kekeliruan ranking (error rangking). Yakni
kekeliruan yang diperbuat oleh pemberi skor dalam menentukan urutan kedudukan
skor yang dimiliki oleh para peserta didik dalam suatu tes atau ujian. Hal
ini bisa terjadi akibat adanya beberapa faktor yakni; a) suasana batin
yang sedang menyelimuti diri evaluator pada saat pengukuran hasil belajar
dilaksanakan; b) Kemungkinan juga adanya sifat pemurah atau sifat pelit yang
melekat pada diri evaluator sehingga ia tergerak untuk ‘mengutak-atik’ nilai
atau scor peserta didik; c) Terjadi hallo
effect, atau evaluator terpengaruh oleh berita, informasi, dan lain-lain
yang datang dari teman sejawat; dan d) Evaluator
terpengaruh oleh “kesan masa lalu” mengenai hasil-hasil belajar yang telah
dicapai peserta didiknya.
Keempat,
kekeliruan pengukuran (error measuring). Realitas
di lapangan mengungkapkan bahwa
mayoritas guru bahasa Arab selama ini hanya mengembangkan instrumen evaluasi
yang hanya mengukur kemampuan kognitif pesera didik ‘tentang bahasa Arab’
semata, dan belum mengukur tentang bagaimana mereka ‘berbahasa Arab’. Tes untuk
mengukur kemampuan berbicara (mahârah al-kalâm) yang semestinya
dilakukan secara lisan belum banyak dilakukan oleh guru bahasa Arab. Mengapa
hal ini bisa terjadi? Pasalnya, masih banyak ditemukan guru-guru atau pengajar
bahasa Arab di beberapa sekolah dan instansi yang belum mampu berbicara bahasa
Arab itu sendiri. Begitu juga halnya tentang kemampuan memahami pembicaraan (fahm
al-masmû’).
C. Penutup
Kemampuan melakukan
evaluasi pembelajaran bahasa Arab sangat dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana
tingkat keberhasilan pembelajaran bahasa Arab selama ini. Oleh karena itu,
menjadi hal penting dikedepankan oleh guru untuk tetap berpegang pada
prinsip-prinsip tersebut ketika melakukan evaluasi pembelajaran.
Apabila
masing-masing prinsip tersebut menjadi dasar pertimbangan dalam melakukan
evaluasi, maka hasil dari evaluasi benar-benar dapat dipertanggungjawabkan
tingkat kesahihan dan reliabilitasnya. Sehingga dari hasil tersebut, guru dapat
mengambil keputusan dan tindakan untuk lebih memperbaiki kualitas proses
belajar mengajarnya di kelas.
Dalam hal ini,
penulis merekomendasikan kepada para guru dan pengajar bahasa Arab, agar kiranya
benar-benar memahami konsep-konsep dasar seputar evaluasi pembelajaran. Sebab
dengan dilakukannya evaluasi tersebut, guru senantiasa dapat berimprovisasi dan
meningkatkan kualitas belajar mengajarnya.
Daftar Pustaka
A.S Hornby, Oxford
Advance Learner’s Dictionary, New York: Oxford University Press, 1995.
Ahmad Ibrahim Khadr,
al-Farq baina al-Taqwîm wa al-Taqyîm, dalam http://www.alukah.net/web/khedr/0/50989/.
Diakses pada Oktober 2014.
Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka
Cipta, 2012.
M. Ainin, dkk, Evaluasi
dalam Pembelajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat, 2006.
M. Sukardi, Evaluasi
Pendidikan (Prinsip dan Operasionalnya), Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Maula Mustofa
al-Birjawi, al-Taqwîm fi al-Nizhâm al-Ta’lîm, http://www.alukah.net/social/0/28792/.
Akses Oktober 2014.
S.Wojowasito
dan Tito Wasito W, Kamus Lengkap Inggris
Indonesia, Jakarta: Hasta, 1980.
Sudaryono, Dasar-dasar
Evaluasi Pembelajaran, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Sukiman, Pengembangan
Sistem Evaluasi, Yogyakarta: Insan Madani, 2012.
Tayar Yusuf dan
Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995.
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran,Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011.
[1] S.Wojowasito
dan Tito Wasito W, Kamus Lengkap Inggris
Indonesia, (Jakarta: Hasta, 1980), hlm. 267
[2] A.S Hornby, Oxford
Advance Learner’s Dictionary, (New York: Oxford University Press, 1995),
hlm. 394..
[3] Di kalangan para peneliti
dan praktisi pendidikan banyak yang rancu dan saling tumpang tindih (tadâkhul)
dalam penggunaan kedua istilah, yakni al-taqwîm dan al-taqyîm.
Sebagian ahli mengatakan bahwa kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama,
terutama apabila laporan dan proposal mereka yang berkaitan dengan evaluasi
program atau proyek sosial. Namun demikian kedua istilah tersebut memiliki
makna menjelaskan nilai dari sesuatu. Sementara itu, kata al-taqwîm
digunakan oleh banyak kalangan. Dan memiliki makna menjelaskan nilai dari
sesuatu dan memperbaiki atau meluruskan sesuatu yang bengkok (keliru/salah).
Adapun kata al-taqyîm hanya memiliki makna memberikan nilai terhadap
sesuatu. Maka dari itu, kata al-taqwîm lebih umum dan lebih komprehensif
(asymal) daripada kata al-taqyîm. Faktanya bahwa kata al-taqwîm
adalah bentuk derivasi (musytâq) dari
kata al-qîmah, sementara kata al-taqyîm merupakan bentuk derivasi
dari kata al-qiwâm. Kata yang pertama bermakna menentukan (al-taqdîr)
dan menilai (al-tatsmîn), dan kata kedua bermakna meluruskan atau
memperbaiki (al-ta’dîl).
[4] Lihat Maula Mustofa
al-Birjawi, al-Taqwîm fi al-Nizhâm al-Ta’lîm, http://www.alukah.net/social/0/28792/.
Akses Oktober 2014.
[5] M. Sukardi, Evaluasi
Pendidikan (Prinsip dan Operasionalnya), (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm.
1
[6] Zainal Arifin, Evaluasi
Pembelajaran,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 5
[7] Sukiman, Pengembangan
Sistem Evaluasi, (Yogyakarta: Insan Madani, 2012), hlm 3.
[8] Ibid., hlm 4
[9] Ahmad Ibrahim Khadr, al-Farq
baina al-Taqwîm wa al-Taqyîm, dalam http://www.alukah.net/web/khedr/0/50989/.
Diakses pada Oktober 2014.
[10] Lihat Maula Mustofa al-Birjawi,
al-Taqwîm fi al-Nizhâm al-Ta’lîm, http://www.alukah.net/social/0/28792/.
Akses Oktober 2014.
[11] Sukiman, Pengembangan
Sistem...hlm. 4
[12] M. Ainin, dkk, Evaluasi
dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang: Misykat, 2006), hlm. 12.
[13] Ibid., hlm. 13
[14] Tayar Yusuf dan Syaiful
Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 217.
[15] M. Ainin, dkk, Evaluasi
dalam Pembelajaran....hlm. 14
[16] Daryanto, Evaluasi
Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 20.
[17] Sudaryono, Dasar-dasar
Evaluasi Pembelajaran, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 55
[18] M. Ainin, dkk, Evaluasi
dalam Pembelajaran....hlm 13
[19] Ibid., hlm. 13-14.
[20] Daryanto, Evaluasi
Pendidikan....hlm. 20
[21] Sudaryono, Dasar-dasar
Evaluasi....hlm. 55-56
[22] M. Ainin, dkk, Evaluasi
dalam Pembelajaran....hlm. 14
Komentar
Posting Komentar