PROSEDUR METODE ILMIAH (Kajian Epistemologis)
A.
Pendahuluan
Setiap orang pasti pernah mengamati suatu objek yang membuatnya
berpikir mendalam dan kadangkala
menunjukkan gejala-gejala yang berada diluar batas akal. Alam memiliki banyak
substansi-substansi yang unik. Karena keunikannya ini banyak orang melakukan
praduga-praduga yang sesat. Mereka mengkaji tanpa dasar yang jelas dan hanya
bisa mengkhayal dan berimajinasi untuk menyimpulkan kebenaran tentang alam.
Pengalaman-pengalaman ini memberikan konstelasi bahwa alam memiliki banyak
keajaiban dan masih banyak misteri yang belum terungkap oleh manusia.
Ada kalanya manusia menemukan sesuatu yang baru, namun tidak
mengetahui bagaimana cara memperolehnya. Mereka hanya mampu menerawang jauh
tanpa dasar yang ilmiah. Sehingga menjawab persoalan-persoalan itu hanya dengan
indra penglihatan saja. Oleh karena itu, kemungkinan-kemungkinan melakukan
kesalahan sangatlah besar bahkan menyesatkan. Untuk itu, kita butuh
metode-metode ilmiah untuk menarik kebenaran dari prasangka-prasangka tersebut.
Karena harapan kita sebelumnya adalah berusaha agar orang lain menerima atau
mengakui bahwa kaidah-kaidah yang kita simpulkan dapat diterima oleh akal
sehat.
Di dalam bahasan kaidah ilmu yang masuk akal: suatu dongeng tentang
pasang akan di jelaskan secara eksplisit urutan-urutan yang sistematis tentang
bagaimana seseorang dapat dikatakan menemukan pengetahuan. Dan apa langkah
selanjutnya untuk menjaga eksistensi kebenaran ilmu.[1]
B.
Suatu Dongeng tentang pasang
Aristoteles memberikan
identitas kepada manusia sebagai animal rationale. Identitas ini
disematkan beranjak dari karakteristik manusia sebagai makhluk yang berpikir.
Asal mulanya pengenalan manusia terhadap segala sesuatu disekelilingnya,
selanjutnya pemikiran kritis dan kreatif terhadap dirinya sendiri, yaitu
hakikatnya sebagai manusia. Kemudian, ia sadar akan perlunya segala pemecahan
masalah demi tercapai tujuan hidupnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, masalah merupakan hal yang lumrah dan
selalu ada. Fenomena dan kejadian yang
dipandang perlu untuk dipecahkan merupakan dorongan tersendiri bagi manusia
untuk mengerahkan segenap kemampuan pikiran, tenaga dan waktu untuk menjawab
semua keingintahuan tersebut. Seperti pepatah Socrates mengatakan “cogito ergo
sum” aku berpikir, karena aku ada. Selama manusia berpikir, maka pengetahuan
dibumi akan terus berkembang dan terus dikaji kebenarannya. Proses berpikir ini
nantinya yang akan menentukan bagaimana proses pengkajian suatu fenomena hingga
sampai kepada perolehan-perolehan pengetahuan.
Dalam subbab ini diceritakan proses pencarian pengetahuan melalui empat
cara, yaitu: pengamatan, proses pemikiran[2],
merumuskan hipotesis, dan menarik kesimpulan. Chalmers (didalam Soetriono &
SRDm Rita Hanafie) mengungkapkan didalam aliran Native Inductivism atau lebih
dikenal dengan aliran induktif bahwa pembangunan ilmu dimulai dari observasi
atau pengamatan. Penarikan kesimpulan pengetahuan harus didasarkan pada hasil
observasi pada semua situasi dan tempat. Karena hasil observasi yang hanya
melihat dari satu situasi saja tidak bisa digunakan untuk membangun pengetahuan
ilmiah.
Selain itu pula, pengamatan secara langsung tanpa melalui
pemikiran, maka penelitiannya akan dianggap sia-sia.[3]
Sedangkan jika dalam penemuannya seseorang
tidak menggunakan fakta-fakta dari hasil pengamatan maka penelitiannya
akan menjadi hampa.[4]
Dalam tahap penarikan kesimpulan seorang peneliti haruslah melakukan
serangkaian pengujian, sehingga kesimpulan yang diperoleh dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam suatu cerita bahwa ada seorang pertapa yang tinggal disebuah
pantai yang sangat tekun mengamati pasang naik dan pasang surut air laut.
Dengan Kesabarannya, si pertapa mencatat jangka waktu yang digunakan dua pasang
naik. Kesimpulan yang dapat dia tarik dari pengamatannya adalah Jangka waktu
yang diperlukan dua pasang air laut adalah 12 jam 26 menit. Peristiwa air surut
dan air pasang terjadi secara bervariasi dan sistematis dalam waktu 14 hari.
Pada waktu yang bersamaan, petapa lainnya yang tinggal di sebuah
gurun sedang melakukan pemikiran mendalam terhadap gaya tarik bumi dan bulan.
Sehingga pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa ketika bumi dan bulan melakukan
gaya tarik-menarik, maka bulan menghasilkan sistem deformasi bumi yang
berkecenderungan permukaan bumi yang dekat dengan bulan akan naik. Perputaran
akan menyebabkan kenaikan tersebut berlangsung dua kali dalam sehari atau dalam tiap 12 jam 26 menit. Kemudian dia
menganalisa bahwa andaikan beberapa bagian bumi ini terendam oleh air, maka
kekuatan deformasi ini akan menyebabkan air tersebut naik turun tiap 12 jam 26
menit dengan variasi tiap 14 hari dan perbedaan yang bergantian tiap 28 hari.
Didorong oleh hasrat membuktikan kesimpulan dari pengamatan mereka, maka kedua
petapa ini pun pergi ketempat lain untuk mengamati lebih lanjut objek yang
sedang diuji kebenarannya.
Di persinggahan kafilah-kafilah, bertemulah pertapa tersebut dengan
seorang penemu hipotesis, teori dan penjelasan. Lalu pertapa tersebut
menceritakan semua pengamatannya tentang pasang surut air laut dan bertanya
kepada sang penemu, “Apakah menurut anda yang terjadi tentang pasang surut air
laut?”. Si penemu menjawab mungkin pasang surut air laut tersebut terjadi
karena nafas bumi ataupun mungkin lebih lagi disebabkan oleh bulan. Mendengar
perbincangan tersebut datanglah petapa kedua yang konon belum pernah melihat
laut mencoba menjelaskan pemikirannya tentang terjadinya naik turun air laut.
Pertama-tama bulan menyebabkan pasang disebabkan oleh daya tariknya. Karena
bumi berputar pada porosnya maka tiap titik dipermukaan bumi cenderung untuk
naik dua kali dalam sehari. Dan bukan itu saja, pengaruh matahari akan
menyebabkan pasang itu menjadi lebih kuat setiap 14 hari dan perbedaan yang
bergiliran tiap 28 hari. Mendengar penjelasan tersebut petapa pertama heran dan
berkata “bagaimana bisa seorang yang belum pernah melihat laut, tapi mampu
menguraikan hasil pengamatan dan pemikirannya sejauh itu.”
Pada tahap ini hasil dari buah pemikiran ketiga orang dalam dongeng
dipersatukan oleh penonton. Penonton tersebut mengatakan bahwa hasil pengamatan
dari kedua petapa dan teori, hipotesis dan penjelasan dari penemu memiliki
hubungan yang sangat erat dan saling berkaitan. Penjelasan yang masuk akal dan
tidak bersifat kontradiktif dengan pengetahuan ilmiah yang telah diketahuinya
diikuti dengan verifikasi secara empiris dan didukung dengan fakta-fakta dalam
dunia fisik yang nyata maka dia akan dipercaya. Oleh karena itu, untuk
memastikan kebenaran dari semua yang diturunkan oleh hipotesis tersebut, maka
untuk menarik kesimpulan yang mempunyai dasar yang kuat, maka pengujian secara
empiris terhadap beberapa pantai dalam durasi waktu yang lama harus dilakukan.[5]
C.
Prosedur ilmu
Dongeng diatas merupakan tahap-tahap yang dilakukan dalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Tahap-tahap tersebut adalah pengamatan, proses
pemikiran, merumuskan hipotesis dan penarikan
kesimpulan dari hipotesis yang diajukan. Empat kaidah moral ini
memberikan penjelasan bahwa proses pencarian ilmu didasarkan pada penggunaan
rasio (akal) dan pengalaman (empiris). Pemikiran semata belum mampu memenuhi
kesempurnaan kebenaran pengetahuan.[6]
Akal harus didukung oleh pengalaman yang berperan dalam menemukan kejadian-kejadian
yang sahih di lapangan.
Gabungan antara pendekatan rasional dan empiris akan menghasilkan
pengetahuan yang konsisten, sistematis, dapat diandalkan, dan mempunyai dasar
yang kuat. Atau yang disebut teori. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual
di mana pendekatan rasional digambungkan dengan pengalaman empiris. Artinya,
teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berlesesuaian dengan obyek
yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap
harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.[7]
Oleh sebab itu maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris
semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara.
Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis. Sekiranya kita
menghadapi suatu masalah tertentu, dalam rangka memecahkan masalah tersebut,
kita dapat mengajukan hipotesis yang merupakan jawaban sementara bagi
permasalahan yang dihadapi. Secara teoritis, maka sebenarnya kita dapat
mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat rasionalisme yang
bersifat pluralistik. Hanya disini dari sekian hipotesis yang diajukan itu
hanya satu yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi yakni
hipotesis yang didukung oleh fakta-fakta empiris. Harus kita sadari bahwa
hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang bersifat sementara yang
membantu kita dalam melakukan penyelidikan. Sering kita temui kesalahpahaman di
mana analisi ilmiah berhenti pada hipotesisi itu tanpa upaya selanjutnya untuk
melakukan verifikasi apakah hipotesis itu benar atau tidak.
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis
tersebut dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Proses
pengujian ini merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang
diajukan. Fakta-fakat ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita
tangkap secara langsung dengan pancaindera kita. Kadang-kadang kita memerlukan
instrumen yang membantu pancaindera kita umpanya teleskop, mikroskop dan
lainnya. Pembuktian inilah sebenarnya yang memberi vonis terhadap teori ilmiah
apakah penyataan-pernyataan yang dikandungnya dapat diterima kebenarannya atau
tidak secara ilmiah.[8]
Langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan yang merupakan
penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.
Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung
hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses
pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis
iutu ditolak. Dan tidak terhenti sampai disini saja, akan tetapai hipotesis
yang diterima kemudian dianggap sebagai bagian dari pengetahuan ilmiah sebeb
telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang
konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.
Pengertian kebenaran disini haris ditafsirkan secara pragmatis artinya sampai
saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
D.
Kesimpulan
Pelajaran moral dalam dongeng pasang surut air laut adalah pertapa
yang sebagai pengamat, penemu yang sebagai pemikir, dan penarikan hipotesis
yang menggunakan kekuatan pengamatan fakta-fakta alam dan kecerdasannya untuk
mengajukan berbagai hipotesis yang mungkin untuk menjelaskan fakta-fakta
tersebut. Kemudian dengan menggunakan logika dalam berpikir untuk melakukan
deduksi (penarikan kesimpulan) dari setiap hipotesis.
Alur berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan
dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah.
Kerangka berfikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi
yang pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah berikut; proses pengamatan, proses
pemikiran, merumuskan hipotesis dan penarikan
kesimpulan dari hipotesis yang diajukan.
Daftar Pustaka
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah
Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Jujun Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
, Ilmu dalam Perspektif, Jaskarta: Yayasan Obor Indonesia,
2009.
Musa Asy’ari, dkk, Filsafat
Islam: Ontologi Epistemologi, Aksiologi, Historis, Prospektif, Yogyakarta:
LESFI, 1992.
Zeryyupo. http://Zerryupo.Wordpress.Com/2012/02/20/Analisis-Tentang-Kaidah-Ilmu-Yang
Masuk-Akal-Karya-Jujun-Suria-S-Sumantri/. Diakses pada
21 November 2013.
[1] http://zerryupo.wordpress.com/2012/02/20/analisis-tentang-kaidah-ilmu-yang-masuk-akal-karya-jujun-suria-s-sumantri/. Diakses pada 21 November 2013.
[2] Secara garis besar. Ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama,
idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalisme, yaitu suatu aliran
pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “idea”, “category”, “form”
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Disini peran pancaindera dinomorduakan. Sedang
aliran yang kedua adalah realisme atau empirisme yang lebih menekankan
peran “indera” (sebtuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan, pendengaran)
sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Disini
peran akal (rasio) dinomorduakan. Lihat Musa Asy’ari, dkk, Filsafat Islam:
Ontologi Epistemologi, Aksiologi, Historis, Prospektif, (Yogyakarta: LESFI,
1992), hlm. 28.
[3] Plato berpendapat bahwa hasil pengamatan inderawi tidak memberikan
pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah. Karena
sifatnya yang berubah-ubah itu, Plato tidak dapat mempercayai kebenarannya.
Sesuatu yang tidak mengalami perubahanlah yang dapat dijadikan pedoman sebagai
sumber ilmu pengetahuan. Di dalam proses pencariannya, Plato menemukan bahwa di
seberang sana (di luar wilayah pengamatan indrawi) ada apa yang disebut “idea”.
Dunia idea bersifat tetap, tidak berubah-ubah, kekal. Plato memang banyak
terpengaruh oleh Phytagoras dan menaruh perhatian begitu besar kepada
matematika untuk mempelajari dunia. Alam idea yang tak berubah-ubah itu
dianalogkan dengan rumus matematika yang tidak berubah-ubah. Dia menambahkan
bahwa alam idea inilah alam yang sesungguhnya (reality).
[4] Kebalikan dari Plato, Aristoteles menakankan perlunya memanfaatkan
pengalaman inderawi untuk menemukan hukum-hukum dan idea-idea yang bersifat
universal. Bagi Aristoteles tanpa pengamatan inderawi, manusia tidak bisa menemukan
hal-hal yang bersifat intelektual-universal. Jika Plato memotong dengan tajam
hubungan antara dunia idea yang dianggap kekal dan tidak berubah-ubah dan dunia
empiris yang berubah-ubah, dengan mengatakan bahwa dunai idealah yang terpokok
dalam upaya manusia memperoleh ilmu pengetahuan, maka Aristoteles menyangkal
hal itu. Aristoteles tidak memotong hubungan antara dunia idea dan dunia
empiris secara radikal, tetapi lebih meenekankan pada peran pengamatan dan
penyelidikan empiris dalam menemukan dan memperoleh ilmu pengetahuan. Hubungan
antara wilayah empiris-inderawi dengan wilayah idea-intelektual tetap
dipertahankan oleh Aristoteles, sedang Plato memisahkan antara keduanya.
[5] Disarikan dari Kaidah-kaidah Ilmu yang Masuk Akal: Suatu dongeng
tentang Pasang dalam Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm. 60-64.
[6] Menurut Plato idea bukanlah gagasan yang hanya terdapat di dalam
pikiran saja, yang bersifat subyektif. Idea ini bukan gagasan yang dibuat manusia,
yang ditemukan manusia, sebab idea ini bersifat obyektif, artinya berdiri
sendiri, lepas daripada subyek yang berfikir, tidak tergantung kepada pemikiran
manusia. tiap orang berbeda dengan orang
lain, tidak ada dua oirang yang persis sama, akan tetapi keduanya adalah
sama-sama manusia. hal ini disebabkan karena tiap manusia mendapat bagian
daripada idea manusia. Baca Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1,
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 40.
[7] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hlm. 123-124.
Komentar
Posting Komentar