REFORMULASI KONSEP I’RAB DALAM ILMU NAHWU (Sebuah Kajian Epistemologis)
الملخص
Ilmu
Nahwu sebagaimana yang kita kenal sekarang ini yang sarat dengan berbagai
aturan dan teori merupakan hasil dari sebuah proses yang cukup panjang dalam
sejarah linguistik Arab. Salah kajian dalam ilmu nahwu misalnya tentang konsep I’rab. Dalam hal i’rab yang sering dianggap
sebagai keistimewaan yang menyulitkan kemudian berusaha untuk dihindari dengan
berbagai metode yang dianjurkan dalam Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyah li Ghair
an’Natiqin biha, maka sebetulnya itu adalah penyelesaian
manipulasi. Masalah itu akan selalu muncul selama inti permasalahan belum
diselesaikan dengan tuntas. Konsep tentang i’rab harus diluruskan. I’rab selama
ini masih didefinisikan sebagai taghyîr (pengubahan) atau taghoyyur (perubahan) atau atsar (gejala alamat i’rab).
من
المعروف أن علم النحو فن محكوم بالقواعد والقوانين والنظريات التى تحصل عليها من
عملية طويلة في تاريخ علم اللغة العربي. و أحد المباحث في علم النحو هو مفهوم
الإعراب. وبالنسبة إلى مفهوم الإعراب الذي
يعتبر امتيازا يصعب به المتعلم فيلجأ إلى السهولات بتقديم عدة الطرق في تعليم
اللغة العربية لغير الناطقين بها, فإن ذلك علاج مضاربي. ستنبعث هذه القضية طالما جوهرة القضية لم
يعالجها علاجا نهائيا. ولذلك لابد أن يصلح مفهوم الإعراب صالح المفهوم المقصود. طالما كان الإعراب يعرف بأنه تغيير و تغير و
أثر. لذا من المهم أن ينظم و يصيغ مفهوم
الإعراب تنظيما حقيقيا.
A.
Pendahuluan
Ilmu Nahwu merupakan salah satu cabang
pengetahuan tradisional Islam terpenting, khususnya terkait dengan masalah
kebahasaan. Nahwu sebagai suatu
disiplin keilmuan muncul pertama kali pada abad ke-1 H di Bashrah atas prakarsa
Abu al Aswad al-Dualiy. Nahwu merupakan ilmu yang lebih dahulu muncul dibanding
dengan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya.[1]
Dalam al-Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun
memandang “Ilmu Nahwu” sebagai bagian integral dari seluruh pilar linguistik
Arab (‘Ulûm al-Lisân al Arab) yang terdiri empat cabang ilmu, yakni:
Ilmu Bahasa (‘Ilm al Lughah), Ilmu Nahwu (‘Ilm al Nahwi), Ilmu
Bayan (‘Ilm al Bayân) dan Imu Sastra (‘Ilm al Adab).[2]
Disiplin Nahwu ini pada masa formasinya sangat sederhana dan bersifat praktis.
Didorong semangat rasa tanggung jawab terhadap agama, ilmu Nahwu dimaksudkan
sebagai pelurusan terhadap bacaan-bacaan bahasa Arab (terutama ayat-ayat
al-Qur’an) yang dianggap menyalahi bacaan konvensional. Kesalahan-kealahan
bacaan tersebut dalam tradisi bahasa dan bangsa Arab disebut “al-Lahn”[3], yaitu kekeliruan dalam berbahasa yang
karenanya telah dianggap tidak fasih lagi.
Teori-teori nahwu ini kian tambah rumit setelah ilmu ini
juga dikembangkan oleh para teolog (al-Mutakallimûn) dan juga para
filosof (al-Falâsifah) yang berupaya memasukkan prinsip-prinsip logika
dan rasionalitas ke dalam ilmu nahwu.[4] Kesan rumit dan pelik ini diperparah lagi dengan
munculnya aliran-aliran dalam nahwu; aliran Basrah, Kufah, Baghdad dan
Andalusia yang masing-masing memiliki karakter dan mengembangkan
prinsip-prinsipnya sendiri.
Dalam hal i’rab misalnya, yang sering
dianggap sebagai keistimewaan yang menyulitkan kemudian berusaha untuk
dihindari dengan berbagai metode yang dianjurkan dalam Ta’lîm al-Lughah
al-‘Arâbiyah li Ghair an-Nâthiqîna bihâ, maka sebetulnya itu adalah
penyelesaian manipulasi. Masalah itu akan selalu muncul selama inti
permasalahan belum diselesaikan dengan tuntas. Oleh karena itu, konsep tentang
i’rab harus diluruskan. Maka aspek terakhir inilah yang menjadi fokus kajian
ini, yakni upaya mereformulasi konsep i’rab dalam ilmu nahwu.
B. Cikal
Bakal Lahirnya Nahwu
Ilmu nahwu merupakan salah satu bidang
ilmu bahasa yang merupakan salah satu unsur terpenting dalam memahami bahasa
Arab. Kata nahwu ditinjau dari bahasa adalah bentuk mashdar dari
kata نحوا, yang artinya
menuju, arah, sisi, seperti, ukuran, bagian, dan tujuan.[5] Sedangkan menurut istilah adalah ilmu
yang membahas keadaan setiap akhir kata baik yang mu’rab (berubah) atau
yang mabni (tetap) dalam sebuah kalimat.[6]
Di dalamnya kita mengetahui apa yang wajib terjadi dari
harakat akhir dari suatu kata, dari rafa’ atau nashab, atau jar
atau jazm, atau tetap saja pada suatu keadaan setelah kata tersebut
tersusun di dalam satu kalimat. Dalam mengetahui ilmu nahwu adalah satu
kepastian bagi setiap orang yang ingin betul dalam menulis, berpidato dan
mempelajari sejarah kesusasteraan.
Berbagai literatur Arab yang membahas historisitas nahwu
hampir dapat dipastikan bahwa pada umumnya memiliki nuansa pengkajian yang
seirama, yaitu terfokus pada dua hal: peletak dasar (penggagas) disiplin nahwu,
dan kedua latarbelakang kelahirannya. Terkait dengan soal pertama, perbincangan
yang mewarnai berbagai literatur Arab berkisar pada “pro-kontra” dalam
memastikan nama utama yang dianggap sebagai penggagas ilmu nahwu ini. Paling
tidak terdapat lima nama yang disebut-sebut secara kontroversial sebagai
panggagasnya, yaitu; Abu al-Aswad al-Du’ali, Ali bin Abi Thalib, Umar bin
Khattab, Abdurrahman bin Hurmuz dan Nashr bin Ashim al-Laitsi.[7]
Sementara terkait dengan latar belakang yang mendorong
lahirnya ilmu nahwu ini hampir semua literatur yang tersedia sependapat yaitu
disebabkan karena semakin meluasnya kesalahan-kesalahan berbahasa secara baik
dan benar menurut standar bahasa Arab yang fasih, atau yang lebih akrab disebut
dengan istilah “al-Lahn”.[8]
Terlepas dari faktor utama yang mendorong proses ilmiah
bahasa Arab (kodifikasi dan perumusan gramatikanya), misalnya saja demi menjaga
kemurnian bahasa al-Quran atau karena meluasnya “lahn” seperti di tengah
masyarakat seperti disinggung di atas, atau siapapum penggagas utama cabang
pengetahuan nahwu ini, yang pasti aktifitas ilmiah tersebut telah menjadi
catatan penting dalam sejarah intelektual Islam yang menandai adanya suatu
perubahan radikal dalam dunia kebahasaan Arab. Aktifitas intelektual tersebut
telah merubah bahasa Arab dari sebuah bahasa non ilmiah (tidak dapat dipelajari
dengan metode ilmiah) menjadi bahasa ilmiah, bahasa yang memiliki aturan dan
sistem seperti lazimnya obyek ilmiah lainnya.
Dalam kaitan ini, Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170
H) dipandang sebagai orang yang paling berjasa dalam proses ilmiah yang
sebenarnya dalam bahasa Arab. Pengetahuannya yang begitu luas baik tentang
hadits, fikih, bahasa, matematika dan logika formal (manthiq) dan
didukung dengan kecerdasan yang luar biasa, ilmu nahwu ia kembangkan sedemikian
rupa baik secara teoretik maupun cakupan kajiannya. Dengan kata lain, bahasa
Arab mulai benar-benar menjadi bahasa yang ilmiah dan dapat dipelajajri secara
metodologis dan sistematis sejak ia dibuat rumusan tatabahasanya yang
komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi ini.[9]
C. Aliran
(Mazhab) dalam Nahwu
Dalam sejarah keilmuan tradisional
Islam, nahwu merupakan salah satu pengetahuan yang telah mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Bahkan cabang yang satu ini tingkat kemajuannya dapat
disejajarkan dengan-misalnya-disiplin Fikih dan Kalam. Ketiga disiplin ilmu
tersebut dalam kategori keilmuan tradisinal Islam termasuk sebagai “’ilmun
qad nadaja wa ikhtaraqa”[10], secara harfiah berarti pengetahuan
yang telah matang dan terbakar (gosong). Artinya bahwa ketiga pengetahuan
tersebut telah mengalami tingkat kesempurnaan sebagai sebuah disiplin
pengetahuan.
Dalam cabang ilmu nahwu telah muncul
berbagai kelompok aliran tak kurang dari lima aliran. Tidak seperti disiplin
lain yang aliranya pada umumnya lebih ditentukan oleh individu-individu
tokohnya, aliran dalam nahwu melibatkan sentimen dan fanatisme kedaerahan
(kota) atau kewilayahan yang lebih luas lagi (negara). Dalam fikih tradisional,
misalnya, kita kenal adanya aliran (mazhab) Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali
dan yang lain, semuanya dinisbatkan kepada mereka yang dianggap sebagai pendiri
mazhab tersebut yaitu Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
bin Hanbal. Atau dalam disiplin “Kalam”, diantaranya yang sangat terkenal
adalah mazhab al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah dan lain sebagainya yang
semuanya juga dinisbatkan kepada tokoh yang dianggap sebagai pendirinya yaitu
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sementara dalam
nahwu kita kenal mazhab Bashrah, Kufah, Bagdad, Andalusia dan Mesir.[11]
Pada abad ke-2
hijriyah nahwu dikembangkan oleh al Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.175
H) dengan mematangkan teori nahwu yang disusun Sibawaih
(w.180 H) yang nota bene sebagai murid al Khalil sendiri. langkah tersebut
diikuti oleh al-Akhfash al-Ausath (w.211 H) dan al- Mubarrad ( w. 286 H) dan
ulama-ulama lain yang berkembang di negara bashrah yang digolongkan menjadi al-Nuhât
al-Basharîyûn. kemudian lahirlah kitab-kitab nahwu sebagai karya-karya
monumental seperti alfiyah Ibnu Malik, Alfiyah al Suyuthi dan Alfiyah Ibnu
Mu’thi. nahwu juga mengalami perkembangan dan kejayaan di daerah Kufah diantara
ulama-ulama yang mengembangkannya adalah al-Kisai ( w.189 H), al-Farra’ (w.208
H) Tsa’lab (w. 291 H) dll yang selanjutnya dikenal sebagai al–Nuhât
al-Kûfiyûn. Pasca perkembangan di Bashrah dan Kuffah sebagaimana
dijelaskan dalam kitab al-Madâris al-Nahwiyah nahwu mengalami kemajuan
di Bagdad, Andalus dan Mesir. periode ini nahwu sudah mengalami efesiensi dan
reformulasi seperti yang disusun oleh Ibn Jinny ( w. 392 H) di Bagdad, Ibn
Madha Al-Qurtuby ( W. 592 H) di Andalus, Al-Sayuthi (911 H) di Mesir.[13]
Seperti telah banyak ditulis dalam
sejarah peradaban Islam, Irak adalah pusat peradaban dan pengetahuan
tradisional Islam terkemuka sebelum kota-kota lain yang termasuk dalam wilayah
kekuasaan kekhalifahan. Sebelum tampilnya kota Bagdad sebagai pusat
intelektual, Bashrah dan Kufah adalah dua kota utama yang bersaing menjadi
pusat aktifitas intelektual. Bashrah mewarisi tradisi intelektual dari generasi
sebelumnya yang akrab dengan berbagai pengetahuan yang bersifat Hellenis dengan
karakternya yang rasional. Sementara Kufah kental akan sikap konservatif yang
mengawal dengan ketat warisan tradisional Islam. Itu sebabnya, maka pengetahuan
yang muncul dan berkembang dari kedua kota tersebut, yang dalam konteks ini
khususnya ilmu nahwu, memiliki karakter masing-masing.
[14]
Sementara Ahmad Amin menyimpulkan bahwa
perbedaan menonjol karakter kedua mazhab tersebut adalah bahwa mazhab Bashrah bersifat
lebih bebas (tidak terikat tradisi berbahasa yang telah ada), lebih rasional,
lebih terorganisir atau teratur dan lebih berpengaruh. Sementara mazhab Kufah
kurang memberi nuansa kebebasan, lebih mempertahankan apa yang diwarisi dari
orang Arab meskipun kurang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya sekalipun.
Mazhab Bashrah berupaya menjadikan bahasa memiliki sistem yang dapat dinalar
dan menghindari segala aspek periwayatan (untuk menentukan kaidah bahasa) yang
dapat mengacaukan sistem bahasa. Sebaliknya mazhab Kufah berkarakter
sebaliknya, segala yang terdengar dari orang Arab tanpa memperdulikan tingkat
keabsahan atau tidaknya riwayat tersebut, dijadikan rujukan dalam mengambil
keputusan sebuah kaidah bahasa.[15]
Di akhir periode ekstensifikasi, Imam
Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya
pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam
Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara
terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini.
[17] Masa ini diawali dengan hijrahnya para
pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad.[18] Meskipun telah berhijrah, pada awalnya
mereka masih membawa fanatisme alirannya masing-masing. Namun lambat laun,
mereka mulai berusaha mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga
memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad.
[19]
Diantara perintis atau penggagas mazhab baru tersebut
adalah Abu Hanîfah Ahmad bin Dâwud al-Dinawari, Abu al-Thayyib Mihammad bin
Ahmad bin Ishâq al-A’rabi al-Wasyâ’, Ibnu Kaisân Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhim
bin Kaisân[20], al-Akhfash al-Shagîr, Ali bin Sulaiman bin al-Fadhl
al-Nahwiyyi.[21]
Oleh karena sifatnya yang ekletis atau
pengkombinasian itu, maka mazhab Bagdad tersebut memiliki karakternya sendiri,
yaitu tidak terlalu bersifat rasional seperti yang menjadi ciri khas mazhab
Bashrah, dan tidak pula terlalu tekstual seperti karakter khas mazhab Kufah.
Namun demikian, para peneliti nahwu sering mengalami kesulitan untuk
mengidentifikasi mazhab bagdad ini. Sebab, meskipun disebut sebagai mazhab
ekletis dari dua mazhab (Bashrah dan Kufah), para tokoh mazhab ini masih sering
menampakan ego masing-masing mazhab asal mereka.
3. Mazhab
Andalus
Tidak lama setelah Bani Umayyah mendirikan kekhalifahan
di Andalusia (138 H-1422H), di negeri baru Islam di Barat ini muncul banyak
budayawan dan sastrawan mensejajarkan diri dengan rivalnya di negeri Timur yang
sudah lebih dahulu dikenal dengan para intelektualnya. Para ilmuan di Andalusia
yang banyak menimba ilmu ke Timur ini pada umumnya adalah memiliki latar
belakang sebagai ahli qira’ât (aneka ragam bacaan al-Qur’an) dan huffâdz
(penghafal al-Qur’an). Itu sebabnya, pengetahuan yang berkembang lebih dahulu
di negeri ini juga seputar ilmu qira’at disamping juga ilmu fikih.[22]
Sementara disiplin nahwu baru muncul dan
berkembang belakangan setelah setelah beberapa ilmuan Andalusia belajar ke
Timur. Diantara mereka yang populer adalah Jaudi bin Utsman al-Maururi. Ia
mempelajari ilmu nahwu kepada al-Kissâi dan al-Farrâ’. Jaudi adalah orang
pertama yang memperkenalkan karya-karya nahwu mazhab Kufah di Andalusia dan
sekaligus juga ilmuan negeri tersebut yang menyusun buku tentang nahwu. Baru
setelahnya muncul tokoh-tokoh lain seperti Abu Abdullah. Seperti Jaudi, ia juga
belajar nahwu ke Timur kepada Utsman bin Said al-Mishri atau yang lebih
terkenal dengan sebutan al-Warsh.[23]
Oleh karena yang pertama kali nahwu yang
dikenal dan dipelajari oleh para ilmuan Andalusia adalah nahwu mazhab Kufah dan
langsung dari para pakarnya sendiri, maka nahwu yang berkembang lebih di sana
juga nahwu mazhab Kufah.[24] Dan baru pada akhir abad ke-3 H, para
ilmuan Andalusia berkenalan dengan nahwu mazhab Bashrah dirinrtis oleh
al-Ufushniq Muhammad bin Musa bin Hisyam (w. 307 H). Ia pergi ke Timur dan
belajar ilmu nahwu kepada Abu Ja’far al-Dinawari di Mesir. Buku yang ia
pelajari adalah karya Sibawaih yang sangat terkenal itu, al-Kitab. Ia mempelajari
nahwu dari Ahmad bin Yûsuf bin Hajjâj (w. 336 H). Meskipun tidak dikenal
sebagai ahli nahwu, tetapi Ahmad selalu membaca dana mempelajari karya Sibawaih
di atas. Selain al-Ushfuniq, tokoh Andalusia lain yang juga mempelajari karya
Sibawaih semisal Muhammad bin Yahya al-Mahlabi al-Rabâhi al-Jayyâni (w.353 H),
seorang ahli filsafat, manthiq dan kalam.[25]
D. Reformulasi
Konsep I’rab dalam Nahwu
1. Kerancuan
dalam Konsep I’rab
Bahasa
Arab memang memiliki keistimewaan, tetapi keistimewaan itu bukan berarti suatu
hal yang menimbulkan kesulitan. Dalam hal i’rab yang sering dianggap sebagai
keistimewaan yang menyulitkan kemudian berusaha untuk dihindari dengan berbagai
metode yang dianjurkan dalam Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyah li Ghair
an’Natiqin biha, maka sebetulnya itu adalah penyelesaian
manipulasi. Masalah itu akan selalu muncul selama inti permasalahan belum
diselesaikan dengan tuntas. Konsep tentang i’rab harus diluruskan. I’rab selama
ini masih didefinisikan sebagai taghyîr (pengubahan) atau taghoyyur (perubahan) atau atsar
(gejala alamat i’rab)[26] atau juga didefinisikan sebagai bayan (keterangan
tentang jabatan kata dalam kalimat).
اَلإعْرَابُ هُوَ تغيّرُ العلامَةِ التى فِى آخِرِ اللفْظِ
بِسَبَبِ تغيّرِ العَوَامِلِ الداخِلةِ عَلَيْهِ وَ مَا يَقتَضيْه كلُّ عامِلٍ
|
(I’rab adalah
berubahnya tanda di akhir kata yang disebabkan oleh berubahnya faktor-faktor
yang masuk pada kata tersebut dan karena tuntutan setiap faktor yang
mempengaruhinya)
الإعْرابُ تَغييرُ أوَاخِرِ الكَلِمِ
لاخْتِلافِ العَوامِلِ الداخِلَةِ عَلَيْها لفْظًا أوْ تَقديرًا
|
(I’rab adalah
pengubahan akhir masing-masing kata karena perbe-daan faktor-faktor yang
memasukinya baik diucapkan maupun diperkirakan)
الإعْرابُ أثَرٌ ظاهِرٌ أوْ مُقَدَّرٌ يَجْلِبُهُ العامِلُ فى
آخِرِ الآسْمِ المُتَمَكِّنِ وَ الفِعْلِ المُضارِعِ
|
(I’rab adalah gejala
yang tampak nyata atau yang diperkirakan di akhir isim yang “memungkinkan” dan
fi’il mudlori’ karena faktor yang mempengaruhi)
الإعْرابُ بَيَانُ مَا لِلْكلِمَةِ أوْ الجُمْلَةِ مِنْ
وَظِيفَةٍ لُغَوِيَةٍ أوْمِنْ قِيمَةٍ نَحْوِيَةٍ كَكَوْنِهَا مُسْنَدًا إلَيْهِ
أوْ مُضَافًا إليهِ أوْ فاعِلا أوْ مَفْعُوْلاً أوْ حَالاً أو غَيْرَ ذلِك مِنْ
الوَظائِفِ التى تُؤدِّ يها الكلماتُ فِى ثنايا الجُمَلِ و تؤَدِ يها الجُمِلٌ
فى ثنايا الكَلامِ.
|
(I’rab adalah
keterangan tentang kata atau frasa (jumlah) dari segi fungsi atau nilai-nilai
sintaksis, seperti keberadaan kata itu sebagai musnad ilaih (subyek), atau
mudlof ilaih, atau fa’il, atau maf’ul atau hal atau lainnya dari segi
fungsi-fungsi kata dalam suatu frasa atau fungsi frasa dalam suatu kalimat)
Perbedaan definisi
bukan hanya pada redaksinya, tetapi pada substansinya. Secara singkat perbedaan
itu menunjukkan belum ditemukannya hakekat i’rab. Untuk itu perlu verifikasi
definisi agar dapat diperoleh hakekat i’rab.
2. Verifikasi
Definisi I’rab
Definisi
kelompok pertama dan kedua yang menyebutkan bahwa i’rab adalah “pengubahan”
atau “perubahan” akhir masing-masing kata karena perbedaan faktor yang
memasukinya, menganggap bahwa i’rab itu adalah suatu proses perubahan yang
abstrak, tidak kelihatan konkret. Berubahnya akhir kata itu tidak kelihatan,
tiba-tiba saja tanda i’rab itu berubah menjadi tanda i’rab yang lain.
Definisi
ini menganggap bahwa i’rab itu berada di antara ketentuan tanda i’rab yang satu
dengan yang lainnya. Padahal masing-masing i’rab, yakni i’rab rofa’, nashab,
jir dan jazm itu adalah ketentuan setelah selesainya ‘perubahan’ itu, misalnya
berubah menjadi i’rab nashab, berubah menjadi i’rab jir atau menjadi i’rab jazm
atau menjadi i’rab rafa’. Jadi i’rab itu bukan berada pada
saat perubahan itu tetapi pada saat ketentuan setelah selesai perubahan itu.
Pada saat perubahan
itu tidak ada namanya, hanya sekedar proses perubahan saja. Kalau divisualkan
maka tampak seperti pada tabel berikut ini:
Perubahan I’rab Kata Isim dan Fi’il
|
Kata I’rab PP I’rab PP I’rab PP I’rab
Isim
Rafa’ Nashab Jar Rafa’ dst
Fi’il
Rafa’ Jazm Nashab Jazm dst
|
Tanda
panah ( ) adalah keadaan kata sewaktu
dalam proses perubahan (PP) untuk berubah menjadi rafa' atau nashab atau jazm
atau jar dan seterusnya. Pada saat proses perubahan itu tidak ada i’rab. I’rab
itu ketentuan sebelum dan setelah proses perubahan.
Jadi kelihatan jelas bahwa proses perubahan itu bukan i'rab atau i'rab itu
bukan pengubahan dan juga bukan perubahan. Dengan bahasa Arab bisa dinyatakan
bahwa:
الإعْرَابُ
لَيْسَ بِتغيير و لا بتغيّر
I’rab
itu ada setelah selesai perubahan. Dengan demikian tidaklah tepat menyatakan
bahwa i’rab itu pengubahan atau perubahan.
Selanjutnya definisi kelompok ketiga menyatakan bahwa i’rab adalah atsar (gejala) yang dianggap berubah-ubah di akhir kata. Kelompok ketiga ini menyatakan bahwa definisi inilah yang benar dengan alasan bahwa yang berubah-ubah itu memang harakat yang ada di akhir kata. Jadi itulah yang namanya i’rab.[31]
Selanjutnya definisi kelompok ketiga menyatakan bahwa i’rab adalah atsar (gejala) yang dianggap berubah-ubah di akhir kata. Kelompok ketiga ini menyatakan bahwa definisi inilah yang benar dengan alasan bahwa yang berubah-ubah itu memang harakat yang ada di akhir kata. Jadi itulah yang namanya i’rab.[31]
Padahal sudah
disepakati oleh semua ulama nahwu bahwa harakat di akhir kata “رجلٌ”
dan “ رجلا”
atau “رجلٍ “ adalah tanda i’rab, yang kadang-kadang berupa huruf bahkan
membuang huruf atau dikenal dengan hadzaf, seperti dalam kata-kata
berikut ini: المسلمون, لا تتخيلوا . Perlu dicermati dengan seksama bahwa
alamat atau tanda sesuatu itu bukan sesuatu itu sendiri. Tanda i'rab kata itu
tidak sama dengan i'rab kata. I'rab adalah i'rab dan tanda i'rab adalah
tanda i'rab dan bukan i'rab. Dengan demikian, definisi yang menyatakan bahwa
i'rab itu adalah harakat atau dinyatakan dengan (atsar) sebetulnya bukan
definisi i'rab, karena memang I'rab itu bukan tanda i'rab. Dengan bahasa Arab
dapat dinyatakan bahwa:
الإعراب
ليس بأثر ولا بعلامة الإعراب
Jadi
i’rab itu bukan atsar. Definisi keempat menerangkan bahwa i’rab adalah bayân
(keterangan). Definisi ini menekankan fungsi i’rab yang dimanfaatkan sebagai
petunjuk tentang fungsi kata dalam suatu kalimat. Misalnya diketahui bahwa
i’rab suatu kata itu rafa’ maka yang dipahami dari i’rab kata tersebut adalah
bahwa kata itu memiliki fungsi kata-kata yang beri’rab rafa’, yang mungkin
sedang berfungsi sebagai fa’il atau mubtada’ atau na’ib
al-fa’il dan sebagainya.
Dengan
demikian maka penyebutan i’rab rafa’ untuk kata tersebut tidak lain adalah
untuk menentukan fungsi kata, yang selanjutnya dapat dipahami maksud kalimat
dengan sempurna sesuai dengan fungsi masing-masing kata yang telah diketahui
i’rabnya.
Definisi keempat sampai sebatas ini bisa dinyatakan sebagai definisi praktis. Orientasinya adalah kegunaan i’rab itu sendiri. Sebuah kalimat bisa dipahami maksusdnya bila fungsi masing-masing kata itu dipahami berdasarkan uraian menurut jabatannya, misalnya sebagai subyek atau mubtada’, sebagai fa’il atau maf’ul dan seterusnya. Jabatan masing-masing kata itu diketahui melalui macam i’rabnya. Macam i’rab kata tersebut menunjukkan fungsi dan jabatan kata itu dalam sebuah kalimat.
Definisi keempat sampai sebatas ini bisa dinyatakan sebagai definisi praktis. Orientasinya adalah kegunaan i’rab itu sendiri. Sebuah kalimat bisa dipahami maksusdnya bila fungsi masing-masing kata itu dipahami berdasarkan uraian menurut jabatannya, misalnya sebagai subyek atau mubtada’, sebagai fa’il atau maf’ul dan seterusnya. Jabatan masing-masing kata itu diketahui melalui macam i’rabnya. Macam i’rab kata tersebut menunjukkan fungsi dan jabatan kata itu dalam sebuah kalimat.
Dalam
pandangan selintas tampaknya dapat dipahami bahwa i’rab itu merupakan suatu
keterangan tentang fungsi kata dalam suatu kalimat. Akan tetapi definisi
demikian tidak menerangkan tentang hakekat i’rab. Definisi tersebut menunjukkan
guna atau faedah i’rab dalam suatu kalimat bukan hakekat i’rab. I’rab bisa
digunakan untuk menerangkan fungsi kata dalam kalimat, dan fungsi atau guna
ideal i’rab itu bukan hakekat i’rabnya. Jadi definisi keempat tersebut tidak
menunjukkan hakekat i’rab, tetapi fungsinya. Dari uraian-uraian tersebut di
atas perlu kiranya diinsafi bahwa sampai sejauh ini sebetulnya hakekat i’rab
belum dimunculkan. Oleh karena itu tidak heran bila banyak keterangan simpang
siur mengenai i’rab. Ini salah satu alasan perlu adanya kajian ulang tentang
i’rab agar pembelajaran ilmu nahwu menjadi mudah tanpa harus menghindari
keberadaan i’rab sepeti dalam percakapan dengan bahasa Arab Amiyah.
3. Realitas I’rab dan
Fungsi Tanda I’rab
Upaya mempermudah
pembelajaran ilmu nahwu dengan cara menghindari masalah i’rab, yaitu dengan
cara selalu mewaqafkan dalam tiap pembacaan kata-kata dalam suatu kalimat
berkaitan erat dengan anggapan bahwa ilmu nahwu itu sebagai alat untuk membaca
kitab gundul. Akan tetapi cara demikian ini pada gilirannya akan tetap menemui
kesulitan karena kata-kata Arab meskipun diwaqafkan tetap saja memiliki tanda
i’rab dan tidak bisa dihilangkan, misalnya dalam kalimat: Ja’a al-Muslimuna
(جاء المسلمون), tetap saja ada tanda i’rabnya
meskipun dibaca waqaf, karena pada dasarnya mewaqafkan itu bukan menghilangkan
tanda i’rab.
Dari kajian tentang
definisi-definisi tersebut kelihatan bahwa ternyata i’rab itu hanyalah sebuah
istilah untuk mengklasifikasikan kata-kata Arab sehingga berada dalam
klasifikasi rafa’, nashab, jir dan jazm berdasarkan pada keadaan akhir kata
yang menjadi tanda i’rab.[32] Dengan penjelasan
demikian maka setiap kata yang memi-liki tanda i’rab berarti ia mu’rab dan
apabila kata itu tidak memiliki tanda i’rab, sehingga tidak ada bedanya
meskipun diklasifikasikan dalam klasifikasi rofa’, atau nashab, atau jir atau
jazm, maka kata itu disebut mabni. Jadi munculnya istilah mabni ini karena adanya
usaha mengklasifikasikan kata yang tidak memerlukan klasifikasi.
Selanjutnya definisi
i’rab demikian menjadikan istilah alamat i’rab muqaddar atau i’rab
taqdiri tidak berlaku. Tanda i’rab itu tidak muqaddar. Bila tanda
i’rab itu muqaddar itu berarti berlawanan dengan namanya sendiri. Sebuah tanda
itu konkret, atau hissiy atau inderawi, bisa dilihat ketika ditulis dan bisa
diketahui melalui pendengaran ketika diucapkan.
Sangat jauh dari
pemahaman logis ketika dinyatakan bahwa tanda i’rab itu muqaddar atau
diperkirakan. Kalau diperkirakan itu berarti tidak ada tanda. Cukup saja
dinyatakan kata itu tidak memiliki tanda i’rab yang membedakan ketika dalam
klasifikasi rofa’ atau nashab atau jir atau jazm. Oleh karena itu kata-kata
demikian ini, yang tidak memiliki tanda i’rab, apabila dii’rabi atau
diklasifikasikan maka cara mengi’rabinya terbalik. Artinya, kegiatan menentukan
i’rab atau klasifikasi kata itu berdasarkan pada fungsinya dalam kalimat atau
posisinya dalam struktur kalimat.
Proses mengi’rabi
demikian ini berarti harus mengerti dulu maksud kalimat atau fungsi kata itu
dalam kalimat supaya tahu i’rabnya. Proses demikian ini proses mubaddzir yang
sia-sia, karena tidak ada gunanya kata itu dii’rabi bila sudah dikatahui
maksudnya. Lagi pula setelah dii’rabi atau diklasifikasi ternyata kata tersebut
tetap saja tidak ada tanda yang perlu dibenahi. Ini berbeda dengan kata-kata
yang memiliki tanda i’rab dimana cara mengi’rabinya berdasarkan pada tanda
i’rab yang ada pada kata itu, baru kemudian diketahui fungsi kata itu dalam
kalimat. Setelah diketahui fungsinya maka diketahui makna kalimat secara utuh.
Dengan demikian kelihatan jelas fungsi tanda i’rab itu, yaitu untuk menunjukkan
i’rab atau klasifikasi kata.[33]
Setelah tahu i’rab
suatu kata atau klasifikasi kata maka diketahui fungsi kata dalam kalimat dan
dipahami maksud kalimat secara utuh. Kajian ini sekaliguis memberikan informasi
tentang fungsi tanda i’rab. Adapun sebutan mabni maka istilah tersebut muncul
karena adanya kata yang tidak memiliki tanda i’rab tetapi tetap saja dipaksakan
untuk dii’rabi atau diklasifikasikan menjadi rofa’, nashab, jir, atau jazm.
Padahal kata-kata demikian tidak memerlukan i’rab karena tidak punya tanda
i’rab yang bisa membedakan. Dari sini dapat dipahami bahwa i’rab taqdiri
dan mahalli adalah i’rab main-main, karena tidak ada manfaatnya sama
sekali kecuali justru mempersulit dan menjadikan langkah mundur ketika sedang
belajar bahasa Arab.
Bila sudah paham
maksud kalimat maka tidak lagi diperlukan mencari i’rab kata itu. Boleh jadi
ini yang menyebabkan orang berpendapat bahwa i’rab itu sebetulnya tidak ada.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa i’rab itu ada dan perlu. Hanya saja
keberadaan dan keperluannya itu tidak harus mempersulit atau menjadikan proses
pemahaman bahasa Arab itu terhambat atau mundur. Inilah gunanya konsep baru
tentang i’rab yang dikemukakan dalam tulisan ini.[34]
Dengan hadirnya konsep
baru tentang i’rab ini diharapkan konsep lama sudah tidak perlu dihadirkan lagi
kecuali dalam tataran wacana dan untuk tinjauan ulang. Hal ini dimaksudkan agar
pembelajaran ilmu nahwu sesuai dengan orientasi ilmu nahwu itu sendiri sebagai
gramatika, bukan sebagai alat untuk mencari-cari ketentuan i’rab suatu kata
yang tidak memiliki tanda i’rab.[35] Kata-kata dalam sebuah kalimat itu sendiri yang telah
menunjukkan i’rabnya melalui tanda i’rabnya yang tidak muqaddar, baru
kemudian setelah diketahui i’rabnya maka dengan ilmu nahwu dapat diketahui
fungsi kata dalam kalimat tersebut, yang selanjutnya dapat dipahami maksud
kalimat.[36]
Dengan orientasi
demikian maka pembahasan ’jelimet’ tentang i’rab kata dalam sebuah kalimat
tidak akan terjadi, karena penentuan i’rab kata dan kegunaan ilmu nahwu itu
sendiri sudah berada jauh di belakang kepala bila suatu kalimat itu sudah dapat
dipahami. Dari sini dapat diinsafi bahwa pada dasarnya ilmu nahwu itu hanya
diperlukan bagi orang yang berbahasa Arab sebagai bahasa kedua, bukan bagi
orang yang berbahasa Arab secara otomatis seperti bangsa Arab yang memakainya
sebagai bahasa ibu. Itulah guna gramatika bahasa Arab atau ilmu nahwu bagi
pembelajaran bahasa Arab dalam konteknya sebagai alat komunikasi.[37]
E.
Penutup
Ilmu nahwu merupakan sebuah ilmu penting dalam menjaga
kaidah tata bahasa arab supaya bahasa arab itu terjaga dari keruksakan dan
bercampur dengan dialek amiyah. Dalam penyusunannya terdapat berbagai
polimik dimulai dari berdirinya madhab basrah sebagi sumber dan mazhab nahwu
tertua, dalam preodesasinya munculah mazhab Kufah sebagai saingan mazhab Basrah
kemudian disusul mazhab Bagdad, mazhab Andalus dan Mesir. Setiap mazhab
mempunyai metode dan analisis berbeda dalam penyusunan ilmu nahwu terkadang
dengan adanya mazhab-mazhab tersebut ilmu nahwu dirasakan sulit untuk
dipelajari tetapi dalam perkembangannya ilmu nahwu mencapai taraf kematangan
dan kesempurnaan sehingga lebih mudah dipelajari dan dipahami.
Namun demikian adanya terdapat kerancuan dalam konsep
i’rab dalam pembahasan ilmu nahwu. Konsep
tentang i’rab harus diluruskan. I’rab selama ini masih didefinisikan sebagai taghyîr
(pengubahan) atau taghoyyur (perubahan) atau atsar (gejala
alamat i’rab) atau juga
didefinisikan sebagai bayân (keterangan tentang jabatan kata dalam
kalimat). Konsep-konsep i’rab
tersebut belum menyentuh aspek substansinya itu sendiri. Sehingga perlu
diadakannya proses verifikasi konsep-konsep tersebut agar dapat diperoleh
hakekat i’rab yang sebenarnya.
Daftar Pustaka
Abbas Hasan, An Nahwu al-Wafi, Kairo:
Dar al-Maarif, Vol.I. 1966.
Abd al-Al Salim Mukrim, al-Qurân al-Karîm wa atsaruhu
Fi al-Dirâsât al-Nahwiyyah, Mesir: Dar al-Maarif, t.t.
Abdul Aziz Ahmad Allam, Min Târihk al-Nahwi al-Arabi,
dalam majalah “Majallah”, edisi II, tahun ke –2 , 1401/1402 H. KSA.
Abdullah bin Ahmad al- Fakihi, Syarh al-Fawakih
al-Janiyah ‘ala Mutammimah al- Ajrumiyah, Bandung: Syirkah al-Ma’arif, t.t.
Ahmad Afify. Al-Mandzumah Al Nahwiyah Al- Mansubah Li
al-Khalil bin Ahmad Al Farahidy. Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah,
2003.
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Mesir: Maktabah
Al-Nahdah Al-Mishriyyah, 1974.
Ahmad bin Abdullah bin Hisyam, Syarh Syudhur al-Dhahab,
Surabaya: Al- Maktabah as-Saqofiyah, t.t.
Amîn al-Khûli, Manâhij Tajdîd: Fi al-Nahwi wa
al-Balâgah wa al-Tafsîr wa al-Adab, Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1961.
Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, Beirut: Dar Al-Fikr,
tt.
Lois Ma’luf, Al
Munjid Fi Al Lunghah Wa Al A’lam. Beirut: Al Maktabah Al Syarqiyah, 1986.
Mahdi al-Mahzumi, Fi an-Nahwi al-’Arabiy Naqd wa
Taujih, Beirut: Shida, Al- Maktabah al-’Ashriyah, 1964.
Muhammad Al Thanthawiy, Nasy`Ah Al Nahw Wa Tarîkh
`Asyhar Al Nuhâh. Lubnan: Alam Al Kutub, 1997.
Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid, Audloh al-Masalik Ila
Alfiyah Ibn Malik Beirut: Shida, Al-Maktabah al-’Ashriyah, t.t.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Said Al-Afghani, Min Târîkh Al-Nahwi, Beirut: Dar
Al-Fikr, tt.
Saidun Fiddaroini, Falsafat al-I’rab, Surabaya:
Lajnah al-Ta’lif Wa al-Nasyr li Nahdlati al-’Ulama’I Jawa Timur, 2004.
, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab, Surabaya: Jauhar, 2006.
Syathir Ahmad Muhammad, Al-Mujaz Fi Nasy’ah Al-Nawy,
Cairo: Maktabah Al-Kulliyah Al-Azhariyah, 1983.
Syauqi Dhaif, Al-Madâris Al-Nahwiyyah, Mesir: Dar
Al-Maaris, t.t.
Tallal Allamah, Tatawwur Al Nahwi Al Arabi Fi
Madrasatai Al Bashrah Wa Al Kufah. Beirut: Darl Al Fikr Al Lubnani, 1993.
Ukon Purkonudin, Sejarah Penyusunan Nahwu. http://ukonpurkonudin.blogspot.com/2010/09/pendahuluan-salah-satu-cara-untuk.html.
2013.
Zamzam Affandi Abdillah, Ilmu Nahwu: Prinsip-Prinsip
Dan Upaya Pembaharuannya, www. http//blogspotzamzam.com. 2013.
[1] Tallal
Allamah, Tatawwur Al Nahwi Al Arabi Fi Madrasatai Al Bashrah Wa Al Kufah.
(Beirut: Darl Al Fikr Al Lubnani, 1993). hlm. 15.
[2] Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut: Dar Al-Fikr, tt.).
hlm. 453.
[3]
Persoalan “Lahn” sebenarnya telah mulai muncul sejak nabi saw masih ada.
terjadi pula pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun. tetapi lahn baru menjadi
perhatian dan kesadaran kolektif terjadi pada masa pemerintahan bani Umayyah
dimana pada masa ini yang membuat kesalahan berbahasa (lahn) tidak saja
kalanagan masyarakat awam tetapi bahkan kalangan yang dianggap ahli bahasa juga
melakukan hal yang sama lihat, Said al-Afghani, Min Târîkh al-Nahwi
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 8-9.
[4] Penerapan prinsip-prinsip logika formal (mantiq)
dalam nahwu ini dikembangkan oleh Abu Hasan al-Rummani yang hidup pada tahun
296-394 H. di samping seorang teolog Mu’tazilah, ia juga dikenal sebagai pakar
dibidang nahwu, fiqih dana bahasa. karena teori nahwunya yang sangat bernuansa
logika itulah al-Rummani mendapat kecaman pedas dari Ali Al-Farisi yang juga
seorang pakar nahwu. lihat Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Mesir: Maktabah
Al-Nahdah Al-Mishriyyah, 1974), Cet. VIII, hlm.
277.
[5] Lois Ma’luf, Al
Munjid Fi Al Lunghah Wa Al A’lam. Beirut: Al Maktabah Al Syarqiyah, 1986).
hlm. 796. Lihat pula Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1397.
[6] Muhammad Al Thanthawiy, Nasy`Ah Al Nahw Wa Tarîkh `Asyhar
Al Nuhâh. (Lubnan: Alam Al Kutub, 1997). hlm. 1.
[7] Lihat,
Abd Al- ‘Al Salim Mukrim, Al-Qurân Al-Karîm Wa Atsaruhu Fi Al-Dirâsat
Al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar Al-Maarif, t.t.), hlm. 49. Bandingkan, Abdul Aziz
Ahmad Allam, Min Târîkh Al-Nahwi Al-Arabi dalam Majalah “Majallah”,
Jami’ah Al-Imam Bin Saud, Edisi II, 1401-1402, Lihat pula, Syauqi Dhaif, Al-Madâris
Al-Nahwiyyah (Mesir: Dar Al-Maaris, t.t.), hlm. 11-13.
[8] Lihat.
Syathir Ahmad Muhammad, Al-Mujaz Fi Nasy’ah Al-Nawy, (Cairo: Maktabah
Al-Kulliyah Al-Azhariyah, 1983), hlm. 5-14. Dalam masalah “Lahn’ ini. Syahthir mengatakan
bahwa istilah “lahn” telah dikenal dan ada sejak masa jahiliyah dan masa
Rasulullah saw.
[9] Lihat,
Syauqi Dhaif, Al-Mâdaris Al-Nahwiyyah.....hlm. 34-46. Bandingkan pula
dengan Abid Al-Jabiri, Takwîn Al-Aql Al-Arabi......hlm. 81.
[10] Menurut klasifikasi pengetahuan Arab tradisional, khususnya pada masa abad
pertengahan, pengetahuan dibagi ke dalam tiga kategori; ‘Ilmun nadaja wa
ikhtaraqa, yaitu ‘ilmu al-Ushûl (kalam) dan al-Nahwu, ilmun la nadaja wa
la ikhtaraqa, yaitu ilmu al-Bayân dan al-Tafsîr, dan ilmun nadaja wa ma
ikhtaraqa, yaitu ilmu al-Fiqh dan al-Hadîts . Lihat, Amîn al-Khûli, Manâhij
Tajdîd: Fi al-Nahwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab, (Mesir: Dar
al-Ma’rifah, 1961), Cet. 1, hlm. 127.
[11]Lihat
Zamzam Affandi Abdillah, Ilmu Nahwu:
Prinsip-Prinsip dan Upaya Pembaharuannya,
http//blogzamzam.com. Diakses pada 25 Desember 2013.
[12] Perlu diketahui bahwa sesungguhnya periode Kufah dan Basrah ini disebut
sebagai periode ekstensifikasi. Pada dasarnya perkembangan awal atau periode
perintisan dan penumbuhan nahwu berpusat di Bashrah, dimulai sejak
zaman Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad
kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu
masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki
masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas
(analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha
kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar,
pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai
dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai
dipakainya metode analogi. Yang menarik pada masa ini para ulama nahwu terjun
langsung kesetiap kampung-kampung Arab Badui (pedalaman) untuk meneliti dan
mengambil banyak sampel tentang kosakata Arab yang murni atau pun susunan
kalimat bahasa Arab yang belum tercampur dengan dialek azam dan masuknya
lahn. Setelah itu ditulis, seperti yang dilakukan imam khalil Ahmad
al-Farahidi dalam menyusun kitab Al-A’in. Disamping itu aliran ini
terpengaruh oleh logika formal karena lebih cendrung menggunakan metode qiyas/silogisme
karena melihat dari historisnya aliran ini mewarisi budaya hellenis Yunani,
juga ilmu mantiq dan ilmu kalam berkembang pesat dikota Basrah ini.
[13] Lihat Ahmad Afify. Al-Mandzumah Al Nahwiyah Al- Mansubah Li
al-Khalil bin Ahmad Al Farahidy. (Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah,
2003), hlm. 11.
[14] Nahwu mazhab Bashrah bersifat rasional, sedang mazhab
Bashrah berkarakter sebaliknya, yaitu lebih mengandalkan dan bertumpu pada “riwayat
dan menerima atau mendengar kasus kebahasaan yang terjadi di tengah masyarakat.
Pendek kata, nahwu mazhab Bashrah dibangun di atas tiga prinsip utama yaitu: al-Qiyâs,
al-Ta’lîl dan al-Ta’wîl. Atau menurut Abd al-‘Âl Salim al-Mukrim
ketika mendeskripsikan karakter nahwu mazhab Bashrah ia menyatakan:”karakter
paling menonjol mazhab Bashrah ialah menjadikan persoalan-persoalan nahawu
dikaji dengan pendektan logika formal (manthiq) dengan berbagai
silogismenya, alasan rasionalitasnya, kemungkinan-kemungkinannya dan
interpretasinya, kemudian setelah itu semua, baru mengacu kepada Kalam Allah
dan kalam orang Arab. Itu sebabnya, yang menjadi fokus atau konsern utama nahwu
mazhab ini adalah al-Qiyas (silogisme)”. Lhat Abd
al-Al Salim Mukrim, al-Qurân al-Karîm wa atsaruhu Fi al-Dirâsât al-Nahwiyyah.....
hlm. 91.
[15] Ahmad
Amin, Dhuha al-Islâm, ...... hlm. 296.
[16] Selain
dua kota Bashrah dan Kufah yang menjadi pusat kebudayaan dan intelektual Irak,
saat itu muncul sebuah kota baru yang menjadi pesaing pusat intelektual dua
kota yang telah berdiri lebih dahulu, yaitu kota Bagdad. Kota bagdad ini didirikan
dan dibangun oleh al-Manshur Billah Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin Ali
bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib atau yang lebih dikenal dengan nama
Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua dinasti Abbasiyyah. Namun sebenarnya
rencana pendirian kota teresebut telah dicanangkan oleh saudaranya Abul Abbas
al-Saffah, dan pembangunannya dimulai pada tahun 125 hijriah dan mulai
ditempati pada tahun 129 hijriah. Lihat Abd
al’Al Salim Mukrim, al-Qur’an al-Karim Wa Atsaruhu Fi al-Dirasah
al-Nahwiyyah,.....hlm. 137.
[17]Lihat Ukon Purkonudin, Sejarah
Penyusunan Nahwu. http://ukonpurkonudin.blogspot.com/2010/09/pendahuluan-salah-satu-cara-untuk.html. Diakses pada tanggal 25 Desember 2013.
[18] Imigrasi para intelektual ke Bagdad ini dimulai oleh para intelektual
Kufah yang memang jarak antara kedua kota tersebu relatif lebih dekat dari pada
jarak antara Bashrah dengan Bagdad. Mereka yang berimigrasi ke Bagdad ini oleh
para penguasa diberi posisi terhormat dan sangat dihargai yang pada akhirnya
bukan saja penghormatan tinggi ini dirasakan oleh para intelektualnya, tetapi
sekaligus juga mengangkat citra dan pamor mazhab Kufah yang selama ini kalah
citranya dengan mazhab Bashrah. Menyaksikan realitas ini, maka para intelektual
Bashrah pun banyak yang berminat meninggalkan kotanya untuk mencari posisi dan
penghormatan seperti yang telah diraih oleh rival mereka dari Kufah. Hal ini
tentu semakin meramaikan kota Bagdad, khususnya di aspek keintelektualan. Pada
mulanya para intelektual imigran dari dua kota yang telah lama bersaing itu,
membawa bendera dan segala keciri khasan masing-masing kota asalnya dan tetap
mengembangkan persaingan yang telah lama ada sebelum akhirnya sama-sama
menyadari perlunya mengakhiri persaingan tersebut di kota baru mereka.
[19] Kesadaran perlunya mengakhiri persaingan lama inilah
yang pada akhirnya memnculkan mazhab baru dalam nahwu, yaitu mazhab Bagdad.
Sebuah mazhab yang mencoba mensinkretiskan dua mazhab (Bashrah dan Kufah) yang
telah ada sebelumnya. Itu sebabnya, mazhab ini memiliki banyak sebutan
diantaranya adalah “al-Khâlithaini baina al-Naz’ataini” (pengkombinasi antara
dua mazhab), “Ashâb al-Madrasah al-Intikhâbiyyah” (penganut mazhab eklektisme)
dan “al-Bagdadiyyûn”. Lihat Abdul Aziz Ahmad Allam, Min
Târihk al-Nahwi al-Arabi, dalam majalah “Majallah”, edisi II, tahun ke
–2 , 1401/1402 H. KSA.
[20] Adapun tokoh utama mazhab Bagdad ini diantaranya
adalah Ibnu Kaisân yang memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad
bin Kaisan (w.299 H). Ia dikenal sebagai tokoh pertama nahwu mazhab Bagdad meskipun
oleh sebagian penulis biografi lain semisal Brooklman ia dimasukkan sebagai imam
nahwu mazhab Bashrah. Ia belajar nahwu dari al-Mubarrad dan Tsa’lab, mendalami
mazhab Bashrah dan Kufah, banyak menulis tentang nahwu diantaranya adalah
“Kitâb Ikhtilâfi al-Bashriyyîn Wa al-Kûfiyyîn Fî al-Nahwi, al-Kâfi Fi al-Nahwi,
Kitâb al-Tashârif dan Kitâb al-Mukhtâr Fi ‘Ilal al-Nahwi” yang terdiri dari
tiga jilid”. Juga Abu “Ali al-Farisi (al-Hasan bin Ahmad bin Abdul Ghaffar
al-Farisi). Disamping dikenal pakar dibidang nahwu, ia juga sangat mendalami
filsafat, manthiq dan kalam seperti pada umumnya penganut aliran Mu’tazilah lainnya.
Diantara tokoh mazhab Bagdad yang cukup terkenal terdapat nama Ibnu Jinni (Abu
al-Fath Utsman bin Jinni al-Mosuli). Ia adalah murid langsung Abu Ali
al-Farisi, terkenal sangat cerdas dan cermat dan sangat produktif menulis buku.
Tak kurang dari lima puluh buku yang kebanyakan berkaitan dengan linguistik
atau nahwu telah ia tulis. Salah satu buku karyanya yang monumental adalah
“al-Khashâ’ish”, sebuah buku yang terdiri dari tiga jilid yang hingga sekarang
masih menjadi rujukan utama dalam kajian linguistik klasik Arab.
[21] Abd
al-‘Al Salim Mukrim, al-Qur’ân al-Karîm Wa Atsaruhu Fi al-Dirâsât
al-Nahwiyyah, ....hlm. 143.
[24] Prinsip-prinsip qiyas (analogi),
ta’lil dan lainya yang menjadi karakter nahwu Bashrah dikembangkan
sedemikian rupa oleh para ahli nahwu Andalusia. Sekedar contoh saja, apabila
nahwu Bashrah telah melahirkan teori nahwu tentang hukum atau
ketentuan-ketentuan tertentu pada sebuah jabatan kalimat, maka nahwu Andalusia
akan memperlus ketentuan tersebut. Misalnya dalam kasus “mubtada’ ”, nahwu
Bashrah telah merumuskan teori dan ketentuan bahwa hukum mubtada’ adalah harus
dibaca rafa’, maka nahwu Andalusia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
lanjutan mengapa ia harus dibaca rafa’, kenapa tidak dibaca nasab saja, apa
alasannya, kemudian mereka memberinya alasan-alasan (ta’lîlât) yang panjang
lebar. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan “kenapa, mengapa” semacam itu dalam
tradisi nahwu klasik dengan sebutan “al-Illah al-Tsâniyyah” atau alasan kedua.
Lihat. Syauqi Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah...hlm. 293.
[25] Ibid., hlm. 290
[26] Muhammad
Muhyiddin Abd al-Hamid, Audloh al-Masalik Ila Alfiyah Ibn Malik
(Beirut: Shida, Al-Maktabah al-’Ashriyah, t.t.). Vol. I, hlm.
39.
[28] Abdullah
bin Ahmad al- Fakihi, Syarh al-Fawakih al-Janiyah ‘ala Mutammimah al-
Ajrumiyah (Bandung: Syirkah al-Ma’arif, t.t ), hlm.
7
[29] Ahmad
bin Abdullah bin Hisyam, Syarh Syudhur al-Dhahab (Surabaya: Al- Maktabah
as-Saqofiyah, t.t.), hlm. 12.
[30] Mahdi
al-Mahzumi, Fi an-Nahwi al-’Arabiy Naqd wa Taujih (Beirut: Shida, Al-
Maktabah al-’Ashriyah, 1964), hlm. 67. Empat macam pengertian tentang i’rab tersebut merupakan
hasil pengelompokan dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para penulis
buku-buku ilmu nahwu selama ini. Masing-masing kelompok definisi tersebut
diwakili oleh satu definisi.
[32] Lihat Saidun
Fiddaroini, Falsafat al-I’rab (Surabaya: Lajnah al-Ta’lif Wa al-Nasyr li
Nahdlati al-’Ulama’I Jawa Timur, 2004), 105.
Komentar
Posting Komentar