STUDI HADIST TENTANG FITRAH MANUSIA (Sebuah Kajian Ontologi)
A.
PENDAHULUAN
Apakah manusia
itu? Kadang-kadang ada orang yang tergagap ketika disuguhi pertanyaan tersebut.
Ternyata tidak sedikit orang yang tidak mampu menerangkan eksistensi dirinya
sendiri. Banyak juga yang mampu memberikan jawaban spontanitas, tapi diantara
satu dengan yang lain berbeda.[1]
Memang banyak keterangan bahkan beragam “definisi” dilontarkan. Seperti manusia
adalah hâyawânun nâthiq, rational animal, zoon politicon, homo education,
homo religious, homo faber, la quin, homo sapien, homo economic dan
sebagainya.[2]
Hakikat manusia
menurut Islam adalah wujud yang diciptakan. Dengan penciptaan manusia ini,
manusia telah diberi oleh pencipta-Nya (Allah) potensi-potensi untuk hidup yang
– dalam hal ini - berhubungan dengan
konsep fitrah manusia. Menurut Abdul Aziz bahwa fitrah adalah
potensi manusia yang dapat digunakan untuk hidup di duinia. Dengan
potensi-potensi itu manusia akan mampu mengantisipasi semua problem kehidupan
yang beragam.
Fitrah berari kondisi penciptaann manusia yang mempunyai kecenderungan
untuk menerima kebenaran. Secara fitri, manusia cenderung dan berusaha mencari
serta menerima kebenaran walaupun hanya bersemayam dalam hati kecilnya.
Adakalanya manusia telah menemukan kebenaran, namun karena faktor eksogen yang
mempengaruhinya, ia berpaling dari kebenaran yang diperolehnya.[3]
Fitrah juga terkait dengan Islam dan dilahirkan sebagai seorang muslim.
Ini ketika fitrah dipandang dalam hubungannya dengan syahadat – bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah - yang menjadikan seseorang muslim.[4]
Dalam pengertian ini, fitrah merupakan kemampuan yang telah Allah ciptakan
dalam diri manusia untuk mengenal Allah (ma’rifatullah). Inilah bentuk
alami yang dengannya seorang anak tercipta dalam rahim ibunya, sehingga dia
mampu menerima agama yang baik.
Dalam tulisan
ini, penulis ingin menjelaskan dan menguraikan,
serta menganalisa matan hadist dan mencoba menemukan pemahaman yang
komprehensif mengenai hadist tentang fitrah manusia disamping itu juga penulis
ingin menggali makna universal yang terkandung di dalamnya dan mencoba
mengaitkannya dengan realitas kehidupan sekarang ini.
B.
PEMBAHASAN
1.
Teks Hadist dan Hadist Pembandingnya
Hadist tentang
fitrah manusia terdapat dalam kitab-kitab hadist yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi yang masyhur antara lain terdapat pada kitab Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Musnad
Ahmad, al-Muwatha’ Imam Malik, Sunan Darimi. Dalam penelitian dan pemahaman
hadist ini akan kami kemukakan dua hadist dari dua kitab yang berbeda yaitu;
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ
أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنِ الزَّهْرِيِ قَالَ اَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْه قَالَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إلَّا
يُوَلِّدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يَنْصُرَانِهِ
أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءُ هَلْ
تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ " فِطْرَةَ اللَّهِ
الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ
الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ".
|
Telah
menceritakan kepada kami [‘Abdan] telah mengabarkan kepada kami [Abdullah]
telah mengabarkan kepada kami [Yunus] dari [al-Zuhri] dia berkata; telah
mengabarkan kepadaku [Abu Salamah bin Abduraahman] bahwa [Abu Huraira r.a]
berkata; Rasulullah saw bersabda; “Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini)
melainkan ia dalam keadaan kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah
yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi – sebagaimana
hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka apakah kalian
merasakan adanya cacat? “kemudian beliau membaca firman Allah yang berbunyi :
“....tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrahnya itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (itulah) agama yang
lurus....”.
2)
Hadist riwayat Imam Abu Dawud dalam kitab Sunannya (4091);
حَدَّثَنَا
الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَاجِ عَنْ
أُبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمَ
كُلُّ مَوْلُودٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
وَيَنَصِّرَانِهِ كَمَا تَنَاتَجُ الْإِبِلُ مِنْ بَهِيمَةٍ جَمْعَاءَ هَلْ
تُحِسُّ مِنْ جَدْعَاءَ قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ أَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ
وَهُوَ صَغِيرٌ قَالَ اللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ .
|
Telah menceritakan kepada kami [Al-Qa’nabi] dari [Malik] dari [Abu
al-Zinad] dari [Al-A’raj] dari [Abu Hurairah] ia
berkata, “Rasulullah saw bersabda; “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan
fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikan ia Yahudi atau Nasrani.
Sebagaimana unta yang melahirkan anaknya yang sehat, apakah kamu melihatnya
memiliki aib? “Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan orang
yang meninggal saat masih kecil?” Beliau menjawab; “Allah lebih tahu dengan apa
yang mereka kerjakan”.
2.
Analisa Matan Hadist
Pada
kenyataannya seluruh matan hadist yang sampai ke tangan kita berkaitan erat
dengan sanad-nya, sementara keadaan sanad itu sendiri memerlukan penelitian
secara cermat. Oleh karenanya, penelitian terhadap matan juga diperlukan.
Keperluan tersbut tidak hanya karena keterkaitannya dengan sanad, tetapi juga
karena adanya periwayatan hadist secara makna.[6]
Dalam urutan
kegiatan penelitian, ulama hadist mendahulukan penelitian sanad atas peneltian
matan. Setiap matan harus mempunyai sanad, tanpa adanya sanad maka suatu matan
tidak dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah SAW. Kualitas sanad dan matan
suatu hadist cukup bervariasi, ada yang sanadnya shahih tetapi matannya dha’if,
atau sebaliknya sanadnya dha’if tetapi matannya dha’if, begitu pula ada yang
sanad dan matannya shahih berkualitas sama yakni sama-sama shahih atau
sama-sama dha’if. Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang
berkualitas shahih adalah sebagain berikut[7]; (1) Terhindar dari syudzȗdz (kejanggalan);
dan (2)Terhindar dari ‘illat (cacat).
Salahud-Din
al-Adlabi menyimpulkan bahwa tolak ukur untuk penelitian matan hadist ada empat
macam, yakni;
1)
Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an;
2)
Tidak bertentangan dengan hadist yang lebih kuat;
3)
Tidak bertentangan dengana akal sehat, indera, dan sejarah;
4)
Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda Kenabian.
Dalam konteks
hadist tentang fitrah manusia, maka kita akan jumpai perbedaan redaksi matan
hadist atau penyataan yang digunakan oleh masing-masing perawi hadist. Hal ini
dilakukan atau dimnaksudkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih
komprehensif.
Hal ini dapat
dilihat pada tabel berikut ini;
Shahih al-Bukhari
|
Sunan Abu Dawud
|
ما من مولود
إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه
|
كل مولود
يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه
|
كما تنتج
البهيمة بيهمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء
|
كما تناتج
الإبل من بهيمة جمعاء هل تحس من جدعاء
|
ثم يقول "فطرة الله التى فطر الناس عليها لا
تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم"
|
قالوا يارسول الله أفرأيت من يموت وهو صغير قال
الله أعلم بما كانوا عاملين
|
Perbedaan
redaksi atau lafadz yang demikian merupakan suatu hal yang wajar dalam
periwayatan hadist karena kebanyakan periwayatan hadist dilakukan secara
maknawi (al-riwâyah bi al-ma’an). Maka perbedaan lafadz hadist menjadi
suatu yang tidak dapat dihindari dalam periwayatan hadist, sehingga hadits
tentang fitrah tidak terjadi syudzȗdz (janggal) dan
‘illat (cacat) disebabkan hanya ada penambahan ayat Al-Qur’an dan
pertanyaan dari para sahabat yang sifatnya lebih menguatkan makna hadist tersebut.
3.
Pemahaman Hadist
1)
Kajian Lingustik
Kata Fitrah
berasal dari akar kata (bahasa) Arab, fathara, mashdarnya adalah fathrun.
Akar kata tersebut berarti dia memegang dengan erat, memecah, membelah,
mengoyak-koyak atau meretakkannya. Perhatikan penggunaan bentuk pertamanya, fatharahu
(Dia telah menciptakannya); yakni, Dia menyebabkannya ada secara baru, untuk
pertama kalinya. Dengan demikian kata fâthirus samâwâti berarti Sang
Pencipta langit.[8]
Secara
etimologi, Fitrah berari al-khilqah (naluri, pembawaan) dan al-thabȋ’ah (tabiat,
watak, karakter) yang diciptakan Allah swt pada manusia.[9] fitrah juga terambil dari kata al-fathr yang berarti syaq
(belahan). Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain pencipta atau
kejadian.
Fitrah membuat
manusia berkeinginan suci daan secara kodrati cenderung kepada kebenaran hanief,
sedangkan pelengkapnya adalah dhamȋr (hati nurani)
sebagai pancaran keinginan kepada kebaikan, kesucian, dan kebenaran. Disinilah
tampak bahwa tujuan hidup manusia adakah dari, oleh dan untuk kebenaran yang
mutlak yaitu kebenaran yang terakhir dan kebenaran Tuhan karena kenenaran Tuhan
merupakan asal dan tujuan dari segala kenyataan.
Fitrah berarti
potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah. Sayyid
Quthub memeberikan makna fitrah dengan memadukan dua pendapat, yaitu bahwa
fitrah merupakan jiwa kemanusiaan yang perlu dilengkapi dengan tabiat beragama,
antara fitrah kejiwaan manusia dan tabiat beragama merupakan relasi yang utuh,
mengingat keduanya ciptaan Allah pada diri manusia sebagai potensi dasar
manusia yang memberikan hikmah (wisdom), mengubah diri ke arah yang lebih baik,
mengobati jiwa yang sakit, dan meluruskan diri dari rasa keberpalingan.[10]
Islam juga
disebut sebagai agama fitrah, agama yang selaras dengan sifat dasar manusia.
hukum dan ajarannya benar-benar selaras
dengan kecenderungan normal dan alamiah dari fitrah manusia untuk
beriman dan tunduk kepada sang Pencipta.[11] Agama Islam bersesuaian dengan kejadian manusia yaitu manusia
diciptakan untuk melaksanakan agama atau beribadah kepada Tuhannya.
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S Al-Dzâriyât : 56)
Peribadatan atau
ketundukan semacam ini tidak mengakibatkan hilangnya kebebasan, karena
kebebasan adalah berbuat sebagaimana yang dituntut oleh sifat dasar sejati
seseorang. Seperti kata Al-Islâm, kata dȋn juga bermakna,
menurut Lane, kepasrahan, ketundukan diantara makna-makna lainnya. Allah
menyatakan;
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada
orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah...(Q.S: an-Nisa’: 125)
Tidak ada paksaan dalam ketundukan (dȋn/agama) (QS.
Al-Baqarah: 256).
Menurut Lane,
kata ad-dȋn secara khusus
bermakna agama Islam. Kata-kata sinonim untuk kata ad-dȋn adalah asy-syarȋ’ah (hukum), tauhȋd (keesaan
Allah) dan wara’ (kehati-hatian). Kata ad-dȋn juga berasal dari kata kerja dâna, yang berarti “dia
berhutang”. Ini penting menurut Al-Attas, sebab manusia berhutang kepada Allah
bagi eksistensi dan penopang kehidupannya. Seorang mukmin akan menyadari bahwa
ruhnya telah mengakui (rubȗbiyah) Allah sebelum kehadirannya di bumi.[12]
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al-A’raf: 172)
Ayat ini dapat
dipahami bahwa manusia pada dasarnya telah diberi oleh Allah agama fitrah yang
diinternalisasi fondasinya pada setiap jiwa, yaitu nilai iman kepada yang Esa,
maka agama fitrah juga disebut agama tauhid yaitu agama Islam yang telah
diwahyukan oleh Allah.
2)
Kajian Konfirmatif
Sebagaimana
sering disebutkan bahwa hadist itu merupakan catatan tentang kehidupan
Rasulullah saw, maka salah satu fungsinya ia menjelaskan atau menjadi contoh
bagaimana melakasanakan ajaran Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an itu lebih bersifat
konsep, maka hadist lebih bersifat operasional dan praktis.[13] Jadi dalam kaitannya dengan Al-Qur’am, Hadist merupakan penjelasan
praktis terhadap beberapa ayat Al-Qur’an yang masih umum dan teoritis.
Sebagai sumber
ajaran Islam yang utama yang ayat-ayatnya berisi ketentuan hukum yang bersifat
pasti, Al-Qur’an diantaranya banyak membahas tentang realitas kehidupan manusia
terutama tentang fitrah manusia itu sendiri. Kata fitrah di dalam
Al-Qur’an hanya disebutkan 1 kali. Sedangkan dalam bentuk fi’il mâdhi (lampau)
disebutkan sebanyak 9 kali di dalam Al-Qur’an.[14]Diantara ayat AL-Qur’an yang sejalan dan senada dengan hadist nabi
SAW yang penulis telaah adalah;
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
|
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum;
30)
Makna Fa aqim wajhaka li ad-din hanifa (hadapkanlah
wajahmu dengan lurus pada agama Allah Swt.). Menurut Mujahid, Ikrimah,
al-Jazairi, Ibnu ‘Athiyah, Abu al-Qasim al-Kalbi, az-Zuhayli, kata ad-dini
bermakna din al-Islam. Penafsiran
ini sangat tepat karena khithab ayat ini ditujukan kepada Rasulullah
Saw. Tentu agama yang dimaksud adalah Islam. Adapun hanif, artinya
cenderung pada jalan lurus dan meninggalkan kesesatan. Kata hanif tersebut merupakan hal (keterangan)
bagi adh-dhamir (kata ganti) dari
kata aqim atau kata al-wajh ; bisa pula merupakan hal bagi kata ad-din.[15] Dengan
demikian, perintah itu mengharuskan untuk menghadapkan wajah pada din
al-Islam dengan pandangan lurus; tidak menoleh ke kiri dan ke kanan dan
tidak condong pada agama-agama lain yang batil dan menyimpang. Perintah ini
merupakan tamsil untuk menggambarkan sikap penerimaan total terhadap agama ini,
istiqamah di dalamnya, teguh terhadapnya, dan memandangnya amat penting.
Selanjutnya Allah swt. Berfirman: fitrah
Allah al-lati fathara an-nas alayha (tetaplah atas fitrah Allah Swt. Yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu). Sesungguhnya Dia menjadikan
dalam diri mereka fitrah yang selalu cenderung kepada ajaran tauhid dan
meyakinkannya. Hal itu karena ajaran tauhid sesuai dengan apa yang ditunjukkan
oleh akal dan yang membimbing kepada pemikirannya yang sehat.[16]
3)
Analisis Realitas Historis
Adapun
yang melatar belakangi munculnya hadis tersebut diatas adalah Sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam Ahmad, Darimi, Nasa’i, Ibnu
Juraij, Ibn Hibban, Thabrani dalam al-Kabir dan al-Hakim dari aswad Suwaid r.a,
sebab dari Hadis tersebut muncul adalah suatu ketika Rasulullah dihasud untuk
mengistimewakan satu kelompok terhadap yang lainnya, orang tersebut berusaha
untuk membunuh orang-orang pada hari itu, sehingga orang tersebut dibunuh. Maka
peristiwa tersebut sampai pada Rasulullah Saw. Beliau bersabda, apa keadaan
yang membuat kalian menimbang untuk membunuh pada hari itu sampai anak-anak pun
dibunuh. Berkata laki-laki tersebut, Wahai, Rasulullah Saw, sesungguhnya
anak-anak mereka orang-orang musyrik. Beliau bersabda, ingatlah, sesungguhnya
anak-anak kaum musrik adalah modal kalian. Kemudian, beliau bersabda, ingatlah,
jangan bunuh anak-anak, ketahuilah, jangan kalian bunuh anak-anak dan beliau
bersabda Nabi Saw setiap bayi yang dilahir dalam keadaan suci maka orang tuanya
yang mempengaruhinya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana ia tumbuh
dan berkembang sampai jadi kakek-kakek.[17]
4)
Analisis Generalisasi
Dari diatas pada hakikatnya menjelaskan kepada kita bahwa sesungguhnya
setiap manusia dilahirkan dalam keadaan membawa potensi masing, dimana potensi
tersebut bisa berupa potensi positif maupun potensi negatif, bergantung
bagaimana manusia itu memanfaatkan potensinya itu, mau disalurkan kemana. Potensi
yang dimaksud disini bisa berupa keberanian maksudnya bila anak itu
keberanianya lebih besar ketimbang rasa takutnya maka dia akan menjadi
pemberani, demikian halnya sebaliknya bila yang lebih menonjol adalah rasa
takutnya maka dia akan jadi penakut. Jadi disini anak bisa saja menjadi anak
yang baik, jahat, pintar dan lain sebainya. Bergantung bagaimana kita
mengelolah potensi tersebut.[18]
Ada pula
segolongan ahli fikir berpendapat berpendapat bahwa kanak-kanak dilahirkan
seperti kertas putih, atau tabula rasa, tak punya potensi-potensi, ia akan
berkembang dengan pengaruh alam sekitar, termasuk ibu bapak, guru-guru,
institusi pendidikan dan lain-lain, alam sekitarnyalah yang berkuasa membentuknya
sekehendaknya, adapun si anak tidak punya daya apa-apa.
Terkait dengan pernyataan bahwa orang tuanyalah yang dapat menjadikan
anaknya menjadi Yahudi, Nasrani Maupun Majusi, itu karena memang orang tualah
yang memiliki peranan yang sangat besar dalam proses perkembangan anak. Sebab
orang tua adalah lingkungan terdekat si anak itu sendiri.
Namun demikian terkadang pula kita temukan ada anak yang orang tuanya
ustadz tapi justru anaknya malah jadi preman, sebaliknya tidak sedikit pula
kita temukan dalam kehidupan masyarakat ayahnya seorang preman pemabuk tapi
justru anaknya malah jadi ustadz. Apa arti semua itu? Inilah yang dimaksudkan
bahwa anak bisa saja jadi orang yang baik ataupun jadi sebaliknya. Mungkin
inilah yang disebutkan pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya tetapi
kadang buah itu dibawa kelelawar sehingga ia jatuh jauh dari pohonnya.[19]
5)
Kritik Praksis
a)
Fitrah dalam
perspektif Pendidikan Islam
Manusia dengan
fitrahnya yang cenderung pada kebaikan namun tidak menjamin penyandangnya pasti
menjadi orang baik merupakan realitas yang unik. Fitrah dengan arti pembawaan dapat berarti
Islam, dan beriman-tauhid sesuai sabda Nabi SAW kepada sahabat Barra’ ibn ‘Azib
setelah beliau mengajarkan do’a menjelang tidur, beliau lalu memberi penjelasan
yang maksudnya, bila ‘Azib kemudian meninggal setelah mengucapkan do’a itu,
maka dia meninggal dalam keadaan “fitrah”, maksudnya dalam keadaan iman,
bertauhid dan Islam.[20]
Pendapat ini
sesuai dengan analisis terhadap ungakapan hadist; “...Namun
kedua orang tuanyalah (mewakili lingkungan) mungkin dapat menjadikannya agama
Yahudi, Nasrani dan Majusi (tanpa menyebut Islam). Padahal, agama yang paling berpengaruh waktu itu ada empat,
termasuk Islam, disamping tiga agama tersebut. Maka tidak disebutkan Islam
berarti mengisyaratkan bahwa yang dimaksud fitrah dalam hadist tersebut adalah
Islam.
Para pakar
pendidikan Islam, bahkan banyak yang memperluas makna fitrah selain iman,
tauhid, dan Islam, juga berpembawaan yang baik. Jadi pada dasarnya, setiap
manusia menurut kodrat berpembawaan baik. Yakni menyukai kebaikan, keindahan,
kebenaran, keadilan dan sebagainya. Mafhȗm mukhâlafahnya,
manusia pada dasarnya tidak menyukai keburukan, kejahatan, ketidakadilan, dan
sejenisnya.[21] Sementara itu, ternyata kemudian ia dilengkapi pula dengan potensi
fujȗr atau durhaka dan takwa (QS. Asy-Syams; 8). Maka segenap fitrah
manusia yang berupa potensi itu selain diusahakan agar tumbuh dan berkembang,
mesti dan perlu untuk juga dididik dan diarahkan. Karena pengaruh orang tua
(mewakili lingkungan berupa pergaulan, bacaan, pendidikan, dan lain sebagainya)
dapat mempengaruhi manusia menjadi buruk, jahat dan seterusnya.
Apabila kita melihat
program pendidikan sebagai usaha untuk menumbuh-kembangkan anak, melestarikan
nilai-nilai Ilahi dan insani, serta membekali anak didik dengan kemampuan yang
produktif, dapat kita katakan bahwa fitrah merupakan potensi dasar anak didik
yang dapat mengantarkan pada tumbuhnya daya kemampuan manusia untuk bertahan
hidup maupun memperbaiki hidup. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembekalan
berbagai kemampuan dari lingkungan sekolah dan luar sekolah yang terpola dalam
program pendidikan.[22]
Seorang
pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya menjadi orang ini dan itu,
tetapi cukup dengan menumbuh-kembangkan potensi dasarnya serta kecenderungan-kecenderungannya
terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang ada.
Apabila anak mempunyai sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan jahat,
upaya pendidikan adalah mendidik,
mengarahkan dan memfokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau
setidak-tidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut.
Namun realitas
menunjukkan masih banyak terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam hal mendesain
pendidikan selama ini yakni mendesain pendidikan secara parsial belum
terintegrasi. Seringkali yang dididik adalah tangan manusia, manusianya sendiri
tidak tersentuh. Karena itu lulusan akan ahli tangannya – misalnya ahli membuat
mesin atau ahli melukis atau ahli memainkan alat musik – tetapi ia belum tentu
manusia. padahal pendidikan itu adalah untuk memanusiakan manusia. seringkali
yang dididik adalah otaknya, karenanya pendidikan yang kita lakukan itu hanya
menghasilkan kecerdasan manusia yang belum tentu manusia yang cerdas;
pendidikan yang kita lakukan hanya menghasilkan keterampilan manusia yang belum
tentu berupa manusia yang terampil. Oleh karena itu Al-Syaibani mengatakan bahwa
pendidikan seharusnya mengembangkan aspek jasmani, akal dan ruhani manusia
secara seimbang dan terintegrasi.
Pandangan Islam
tentang fitrah manusia pasti sangat banyak memberikan kontribusi terhadap
konseptualisasi pendidikan Islam. Karena pendidikan sepenuhnya merupakan
kegiatan manusia, oleh mereka, dari mereka dan untuk mereka, diantara implikasinya
adalah; 1) pada orientasi pendidikan Islam, mestui mesti bersikap
menumbuh-kembangkan serta mengaktualisasikan potensi perserta didik sekaligus
mengarahkan pada sasaran yang sejalan dengan tujuan hidup manusia menurut
ajaran Islam; 2) pada mteri atau isi pendidikan Islam. Bahwasannya “isi”
pendidikan Islam tidak terbatas hanya ilmu pengetahuan berupa mata pelajaran,
atau bidang studi (IPA, IPS- Humaniora dan ilmu Agama), lebih dari itu proses
penanaman nilai yang bisa direncanakan atau didesain juga merupakan bagian dari
isi pendidikan Islam; 3) pada pengondisian pembelajaran, hendaknya disesuaikan
dengan realitas fitrah, pertumbuhan, dan perkembangan peserta didik, terutama
dinamika psikologis mereka, hingga mereka termotivasi untuk belajar dan pembelajaran
menjadi sesuatu yang menyenangkan.
b)
Fitrah dan tanggung
jawab manusia
Manusia
mendapat anugerah dua potensi luar biasa, yaitu akal (‘aql) dan
kehendak-bebas (nafs). Ternyata dua potensi tersebut bisa menjadi
penyebab keunggulan yang sukar dibayangkan, namun sekaligus dapat menjadi
kelemahan yang sangat fatal pula.[23] Seperti firman Allah berikut;
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷yu @xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ
“Sesungguhnya kami Telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” (QS. At-Tin: 4-5)
Kalau
dianalisis dan dicermati mengapa manusia bisa jatuh menjadi “asfala sâfilin”
atau jatuh pada kedudukan yang serendah-rendahnya. Niscaya akan ditemukan
sebabnya, yaitu karena adanya dua potensi tersebut. Akal dan nafsu manusia
memang potensi untuk menjadikan manusia menjadi mahluk yang berprestasi tinggi
luar biasa, namun sekaligus bisa menyababkan mereka jatuh terpuruk menjadi
lebih sesat, dan lebih rendah daripada binatang. Tanpa akal dan hati nurani
manusia seperti binatang. Ia pasti kehilangan kemampuannya memilih hukum alam
yang ia kehendaki. Dia pun akan kehilangan ilmu pengetahuan dan kemampuan
memanfaatkan apalagi merekayasa teknologi.
Manusia tidak
hanya dikaruniai hidayah akal, lebih dari itu ia diberi hidayah agama disamping
potensi-potensi dasar lainnya seperti insting, pancaindra, dan nafsu. Manusia
sebagai khalifah Allah diberi karunia fitrah yang baik, ruh, disamping jasmani,
kebebasan memilih dan akal sebagai karakteristik yang membedakannya dari mahluk
lainnya. Maka kebijakan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah Allah di bumi
adalah sangat tepat, mengingat hidup dan kehidupan duniawi merupakan tempat
ujian bagi manusia.
c)
Dinamika fitrah Manusia
Fitrah berarti
potensi yang dimiliki manusia untuk menerima agama, iman dan tauhid serta
perilaku suci. Dalam pertumbuhannya, manusia itu sendirilah yang harus berupaya
mengarahkan fitrah tersebut pada iman atau tauhid melalui faktor pendidikan,
pergaulan dan lingkungan yang kondusif. Bila beberapa faktor tadi gagal dalam
menumbuh-kembangkan fitrah manusia, maka dikatakan bahwa fitrah tersebut dalam
keadaan tertutup yang dapat dibuka kembali bila faktor-faktor tadi
mendukungnya.[24]
Sebagai bentuk
potensi, fitrah dengan sendirinya memerlukan aktualisasi atau pengembangan
lebih lanjut. Tanpa aktualisasi, fitrah dapat tertutup oleh ‘polusi’ yang dapat
membuat manusia berpaling dari kebenaran. Meski setiap orang memiliki
kecenderungan ini tidak serta merta secara aktual berwujud dalam kenyataan.
Karena itu, fitrah bisa yazȋd wa
yanqush atau bisa
bertambah dan berkurang. Tambah, karenma faktor pembinaan dan pendidikan yang
kondusif, dan kurang, karena faktor-faktor negatif yang mempengaruhinya.
Dikaitkan
dengan QS ar-Rȗm ayat 30 tersebut diatas dapat ditarik pengertian yang mendalam,
bahwa hakikatnya fitrah itu tidak berubah. Ibarat pelita ia tetap menyala,
tetapi nyala pelita itu dapat terhalang dan tertutupi oleh berbagai pengalaman
dan pengaruh dari luar, hingga tidak berfungsi. Oleh karena itulah, penjahat
yang paling jahat sekalipun, tidak suka anaknya menjadi penjahat.[25] Karena fitrah yang cenderug
kepada kebaikan masih tetap menyala dalam fitrahnya yang tertutup, terkecuali
bagi mereka yang kehidupan batiniyahnya sudah tidak normal lagi.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian dan penjelasan mengenai hadits tentang hakikat fitrah manusia,
setidaknya penulis dapat menyimpulkan beberapa point penting sebagai beriktu;
1.
Secara etimologi, Fitrah berari al-khilqah (naluri,
pembawaan) dan al-thabȋ’ah (tabiat, watak, karakter) yang diciptakan Allah swt pada manusia. fitrah
juga terambil dari kata al-fathr yang berarti syaq (belahan).
Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain pencipta atau kejadian.
2.
Segenap fitrah manusia yang berupa potensi takwa selain diusahakan
agar tumbuh dan berkembang, mesti dan perlu untuk juga dididik dan diarahkan.
Karena pengaruh orang tua (mewakili lingkungan berupa pergaulan, bacaan,
pendidikan, dan lain sebagainya) dapat mempengaruhi manusia menjadi buruk,
jahat dan seterusnya.
3.
Apabila anak mempunyai sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan
jahat, upaya pendidikan adalah mendidik,
mengarahkan dan memfokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau
setidak-tidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut.
4.
Manusia mendapat anugerah dua potensi luar biasa, yaitu akal (‘aql)
dan kehendak-bebas (nafs). Ternyata dua potensi tersebut bisa menjadi
penyebab keunggulan yang sukar dibayangkan, namun sekaligus dapat menjadi
kelemahan yang sangat fatal pula.
5.
Fitrah dengan sendirinya memerlukan aktualisasi atau pengembangan
lebih lanjut. Tanpa aktualisasi, fitrah dapat tertutup oleh ‘polusi’ yang dapat
membuat manusia berpaling dari kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabuni,
Muhammad Ali, Min Kunuz as-Sunnah, Makkah: Darul Kutub al-Islamiyah,
1999.
Asifudin, Ahmad
Janan, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam; Tinjauan Filosofis,
Yogyakarta: Suka Press, 2010.
Assegaf,
Abdurrahman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Aziz, Abdul, Filsafat
Pendidikan Islam; Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Penerbit TERAS, 2009.
Falazuardika Imantara Wibowo, http://falazuardika.blogspot.com/2012/05/fitrah-manusia-dalam-pendidikan-islam.html
Khamdan, dkk., Studi
Hadist Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2012.
Manzhur, Ibnu, Lisân
Al-‘Arab Al-Muhȋth. Vol. 4, ed.
A. Al-‘Alayali, Beirut: Daru Lisan
Al-‘Arab, 1988.
Mohamed,Yasien,
Insan yang Suci; Konsep Fitrah dalam Islam, Jakarta: Penerbit Mizan,
1997.
Musthafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2006.
Pengajian
Mesjid Babul Jannah (Sambas). http://alkadri- pengajian.blogspot.com/2011/03/hadis-tentang-fitrah-manusia.html.
Quthub, Sayyid,
Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Juz VI, Lebanon: Darul Ihya’, tth.
Shihab, M.
Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1986.
Yuslem, Nawir, Ulumul
Hadist, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zuhairin, dkk.,
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
[1]Ahmad Janan
Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam; Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: Suka Press, 2010), hlm. 51.
[2] Lihat Zuhairin, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004), hlm. 82. hayawânun nâthiq artinya sama dengan rational
animal. Dalam hal ini Harun Nasution melengkapi “al-insan hayawânun
nâthiq wa dzâid (tidak hanya berfikir tapi juga merasa); zoon politicon
= mahluk sosial; homo education = dapat dididik dan mendidik; homo
religious = mahluk beragama; homo faber = tukang atau pekerja; la
quin = berbahasa; homo sapien = punya budi atau berwatak; homo
economic = pengejar sesuatu yang bernilai ekonomis”.
[3] Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam; Sebuah Gagasan Membangun
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2009), hlm. 36.
[4] Yasien Mohamed, Insan yang Suci; Konsep Fitrah dalam Islam,
(Jakarta: Penerbit Mizan, 1997), hlm. 20.
[7] Khamdan, dkk., Studi Hadist Teori dan Metodologi, (Yogyakarta:
Idea Press Yogyakarta, 2012), hlm. 211.
[8] Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab Al-Muhȋth. Vol. 4, ed. A. Al-‘Alayali,
(Beirut: Daru Lisan Al-‘Arab, 1988), hlm. 1108-1109.
[9] Abdurrahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 2011), hlm. 50. Lihat juga dalam M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 283.
[13] Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadist, Sebuah Tawaran Metodologis,
(Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 65.
[14] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras li Al-Fadzh al-Qur’an
al-Karim, (Kairo: Dar al-Hadist, 1996), hlm. 633.
[17]Pengajian
Mesjid Babul Jannah (Sambas). http://alkadri- pengajian.blogspot.com/2011/03/hadis-tentang-fitrah-manusia.html. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2013.
[19] Falazuardika Imantara Wibowo , http://falazuardika.blogspot.com/2012/05/fitrah-manusia-dalam-pendidikan-islam.html. diakses pada tanggal 24 Oktober
2013.
[20] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Min Kunuz as-Sunnah, (Makkah:
Darul Kutub al-Islamiyah, 1999), hlm. 12.
[25]Ahmad Janan
Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar........hlm. 54. Dalam hal ini
Abdurrahman memberikan contoh kisah Fir’aun yang menganggap dirinya Tuhan. Ia
bukan saja semula tidak percaya kepada Allah swt, bahkan menganggap dirinya
sebagai Tuhan serta memerintahkan pengikutnya untuk menyembahnya. Namun, ketika
Musa as mengingatkan bahwa ia bukanlah Tuhan melainkan manusia biasa seperti
halnya manusia lain, dan yang patut disembah adalah Allah swt semata. Fir’aun
murka seraya mengejar-ngejar Musa as dan hendak membunuhnya. Ketika Fir’aun
akan tenggelam, ia barulah menyadari akan agama yang disampaikan oleh Musa as.
Ini sebagai pertanda bahwa selama berkuasa fitrah-nya telah tertutup
oleh kepicikan hati dan perbuatannya, namun begitu ia akan tenggelam, kesadaran
akan adanya Allah swt muncul dan itu sudah terlambat.
Komentar
Posting Komentar