STUDI ISLAM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT (Sebuah Pendekatan Filosofis)



الملخص
كان الاسلام رحمة للعالمين فطبعا يمتلك المفاهم و العقائد والتعاليم الإنسانية والشمولية التى تنجى الإنسان والعالم من الهلاك و الحطام. ولذلك ينبغي الاسلام أن يساوي المفاهم والمبادئ وقواعد الحياة انسانيا كان أو شموليا إلى العالم العصري. ويرجى منه ان يتيح المختارات لحل المشكلات. وإحدى المحاولات التى تقام بفهم وإيجاد الاسلام دينا رحمة للعالمين وهي القيام بالمداخل أو التقارب. واحدى منها المدخل الفلسفي وهو النظر والملاحظة إلى المشكلات او القضايا من منظور فلسفي و المحاولة للإجابة و حل المشكلات بطريقة تحليلية مضاربية  analisis-spekulatif. وبذلك كان الاسلام دينا يمتلأ المفاهم و المبادئ والقواعد فيفهمها و يبحث المعتنق عن الجوهرة والحقيقة و الحكمة من وراء تعاليمه و أوامره.

الكلمات الرئيسية : الدارسة الاسلامية و المدخل و الفسلسفة

A.      Pendahuluan
Kehadiran agama dewasa ini semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.[1] Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan harus menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.[2]
Umat diharapkan dapat mengkaji berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama (Islam). Pendekatan-pendekatan tersebut perlu dilakukan agar kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, maka tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, kaku, dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama.[3]
Berpikir secara filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran agama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Agar seseorang tidak terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistic, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti, maka Islam menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran (rasio) dalam memahami ajaran agamanya.[4]
Dalam tulisan ini penulis mencoba memahami dan menelaah Islam melalui pendekatan filosofis, sehingga Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin dapat dipahami dengan baik dan mampu memberikan alternatif pemecahan masalah umat atau solusi dari kondisi problematis dan mampu menjawab tantangan dan tuntutan zaman modern dan era globalisasi sekarang ini.

B.       Pengertian Pendekatan Filosofis
Istilah “filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosiphy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia.[5] Istilah Yunani philein berarti “mencintai”, sedangkan philos berarti “teman”. Selanjutnya istilah shopos berarti “bijaksana”, sedangkan sophia berarti “kebijaksanaan”.[6]
Harun Nasution mengatakan bahwa kata ‘filsafat’ dalam istilah Indonesia berawal dari bahasa Arab, falsafa, bukan Inggris. karena, bahasa Arab lebih awal mempengaruhi bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Inggris. timbangan (wazan) dari falsafa adalah fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian, menurut Harun Nasution, kata benda dari falsafa seharusnya falsafah dan filsaf. Menurutnya, dalam bahasa Indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal kata itu bukan berasal dari kata Arab, falsafah, dan bukan dari kata Inggris philosophy.[7] Harun Nasution mempertanyakan apakah kata ‘fil’ berasal dari bahasa Inggris dan ‘safah’ diambil dari kata Arab, sehingga terjadilah gabungan antara keduanya yang kemudian menimbulkan kata filsafat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragama, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Seperti Plato (427-347 SM) misalnya, filsuf Yunani yang termashur, murid Socrates dan guru Aristoteles mengatakan bahwa filsafat itu tidak lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada. Adapun menurut Aristoteles (384-322 SM) seorang filsuf terbesar, murid Plato dan guru Iskandar dari Macedonia berpendapat bahwa filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda. Karena itu, Aritoteles menamakan filsafat dengan “teologi” atau “filsafat pertama”. Aritoteles sampai pada kesimpulan bahwa setiap gerak di alam digerakkan oleh yang lain. Karen itu, perlu menetapkan satu Penggerak Pertama yang menyebabkan gerak itu, sedangkan dirinya sendiri tidak bergerak. Penggerak yang pertama ini sama sekali terlepas dari materi; sebab kalau ia bermateri, maka ia juga mempunyai potensi untuk bergerak. Allah, demikian Aristoteles, sebagai penggerak pertama adalah Aktus Murni.[8]
Sementara itu Al-Farabi mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.[9] Pengertian filsafat yang umunya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah, atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.[10] Sementara itu, Harun Nasution mengatakan bahwa filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan agama) dan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[11]
Dari sekian definisi tersebut terdapat persamaan yang cukup pokok dan sekaligus merupakan unsur-unsur dasar filsafat.[12] Dengan demikian dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya adalah upaya atau usaha untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriah.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud  agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli.[13] Pendekatan filosofis yang dimaksudkan adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan metode analisis-spekulatif. [14]
Pendekatan filosofis biasanya mencoba menjawab pertanyaan esensial ini: Apakah agama itu? Pendekatan filosofis kemudian menjawabnya dalam dua cara. Pertama, penyelidikan mendalam seputar makna agama, dan apakah agama itu benar atau tidak. Kedua, pemeriksaan menyangkut makna agama bagi kehidupan manusia.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun islam yang kelima dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.[15]
Manfaat yang bisa didapat ketika seseorang menggunakan pendekatan filosofis dalam kajian agamanya adalah sebagai berikut; (1) agar hikmah, hakikat dan inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama; (2) setiap individu dapat memberi makna terhadap segala sesuatu yang dijumpainya dan mengambil hikmah sehingga ketika melakukan ibadah atau apapun, ia tidak mengalami degradasi spiritual yang menimbulkan kebosanan; (3) membentuk pribadi yang selalu berpikir kritis (critical thought); (4) adanya kebebasan intelektual (intellectual freedom); dan (5) membentuk pribadi yang selalu toleran dan bijak dalam menyikapi sebuah problem kehidupan.[16]

C.      Ajaran Islam Mendorong Berfilsafat
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya. Namun demikian pendekatan seperti ini masih belum diterima secara merata terutama kaum tradisionalis-formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketepatan melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengamalan agama.[17]
Agama Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap akal, tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berpikir dan menggunakan akalnya.  Di dalam al-Qur’an dijumpai perkataan yang berakar dari kata ‘aql (akal) sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja aktif, seperti ‘aqalûh’; ta’qilûn; na’qil; ya’qilûnahâ; dan ya’qilûn.[18]
Harun Nasution menjelaskan bahwa kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban terkadang berwarna hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dan lainnya disebut iqâl (عقال); dan menahan orang di dalam penjara disebut i’taqala (اعتقل) dan tempat tahanan disebut mu’taqal (معتقل).[19] Sementara menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman Jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelegence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab zaman Jahiliyah.
Aktivitas akal disebut berpikir. Berpikir merupakan ciri khas yang dimiliki oleh manusia sebagai mahluk yang paling tinggi derajatnya di muka bumi ini. Berpikir secara umum disebut sebagai suatu perkembangan konsep, idea dan sebagainya.[20]
Kata-kata yang dipakai al-Qur’an untuk menggambarkan aktivitas berpikir bukan hanya ‘aqala, tetapi juga kata-kata seperti nazhara (melihat secara abstrak, dalam arti berpikir dan merenungkan); misalnya QS. At-Thariq ayat 5-7 dan sebagainya; tadabbara (merenungkan kembali hal-hal yang telah dilalui), misalnya QS. Shad ayat 29 dan lain-lain; tafakkara (berpikir) seperti QS. Al-Anfal ayat 68-69 dan lain-lain; faqiha (memahami, mengerti), seperti QS. Al-Isra’ ayat 44; tadzakkara (mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari), seperti QS. An-Nahl ayat 17, az-Zumar ayat 9 dan lain-lain; fahima (memahami) seperti dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 78-79 dan lain-lain.[21]
Selain itu di dalam al-Qur’an juga terdapat sebutan-sebutan yang memberi sifat berpikir bagi seorang muslim, yaitu ûlul albâb (orang-orang yang berpikir), seperti QS. Yusuf ayat 111; ûlu al-‘ilm (orang-orang yang berilmu), seperti dalam QS Ali Imran ayat 18; ulul Abshar (orang yang mempunyai pandangan), seperti dalam QS an-Nur ayat 44; ulu al-nuhâi (orang bijaksana), seperti QS Thaha ayat 128.[22]
Disamping itu, anjuran dan dorongan untuk berfilsafat dapat dipahami dari pengertian ayat itu sendiri. Kata ayat itu sendiri erat kaitannya dengan perbuatan berpikir. Arti asal dari kata ayat adalah tanda (sign). Sebagaimana diketahui  bahwa tanda itu menunjukkan kepada sesuatu yang terletak dibelakang atau dibalik tanda itu (fenomenon). Baik secara filosofis maupun ilmiah, untuk mengetahui arti yang terletak dibelakangnya.[23]
D.      Karakteristik Prinsipil Pendekatan Filosofis
John Hick menyatakan bahwa pemikiran filosofis mengenai agama bukan merupakan cabang teologi atau studi-studi keagamaan, melainkan sebagai cabang filsafat. Dengan demikian filsafat agama merupakan suatu “aktivitas keteraturan kedua” (second order activity) yang menggunakan perangkat-perangkat filsafat bagi agama dan pemikiran keagamaan.[24] Pernyataan Hick memberikan suatu cara yang menarik kepada kita dalam membahas apa gambaran karakteristik pendekatan filosofis. Pada umumnya kita dapat menyatakan pendekatan-pendekatan filosofis memiliki empat cabang yaitu[25]:
Pertama, Logika. Sebagai cabang filsafat, bahwa logika bersangkutan dengan kegiatan berpikir. Secara etimologi, logika berasal dari kata Yunani logos, yang berarti kata, nalar, teori atau uraian. Logika dapat didefinisikan sebagai ilmu, kecakapan atau alat untuk berpikir secara lurus. Dengan demikian yang menjadi objek material logika adalah pemikiran, sedangkan objek formalnya adalah kelurusan berpikir.[26] Sementara itu Ahmad Saebani menjelaskan bahwa logika sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan asas-asas penentuan cara berpikir yang lurus, tepat, akurat, sehat dan kuat.[27]
Logika sendiri mempunyai tujuan untuk memperjelas isi atau komprehensi serta keluasan atau ekstensi suatu pengertian atau istilah dengan menggunakan definisi-definisi yang tajam.[28] Sedangkan fungsi logika adalah (1) membedakan ilmu yang satu dari yang lain apabila objeknya sama; dan (2) menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya.
Kedua, Metafisika.[29] Istilah metafisika berasal dari kata Yunani meta ta physika yang berarti sesuatu yang ada dibalik atau dibelakang benda-benda fisik. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan (eksistensi).[30] Sementara menurut Hartono, metafisika kajian yang termasuk ke dalam teori tentang ada dan yang tidak ada, hakikat keberadaan suatu zat, hakikat pikiran dan kaitan antara pikiran dan zat.[31]
Ketiga, Epistemologi.[32] Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani epsteme berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal-mula, atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.[33]  Harun Nasution mendefinisikan epistemologi sebagai ilmu yang membahas apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut.[34] Metodologi secara filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut.
Keempat, Etika. Etika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat moral (moral philosophy). Secara etimologi etika berasal dari kata Yunani ethos berarti watak.[35] Sedangkan Peter Connolly menjelaskan bahwa secara harfiah etika berarti studi tentang “perilaku” atau studi dan penyelidikan tentang nilai-nilai yang dengannya kita hidup, yang mengatur cara kita hidup dengan lainnya, dalam satu komunitas lokal, komunitas nasional, maupun komunitas global internasional. Etika menitikberatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan tentang kewajiban, keadilan, cinta, dan kebaikan.[36]

E.       Pendekatan Filsafat Sebagai Alternatif Memahami Islam
Agama Islam adalah agama fitrah sehingga pokok-pokok isi ajaran agama Islam tentunya sesuai dan cocok dengan fitrah manusia. disamping itu juga, pokok-pokok isi ajaran agama Islam tersebut mempunyai daya adaptasi dan integrasi yang kuat terhadap sistem hidup dan lingkungan budaya yang dimasukinya dan akan berkembang bersamanya. Kalau sekarang ini tampak bahwa praktik dan pelaksanaan ajaran agama Islam tidak sesuai atau dikatakan ketinggalan zaman, maka perlu dipertanyakan; mengapa terjadi demikian? Yang jelas bahwa keadaan tersebut merupakan pertanda bahwa telah terjadi penyimpangan dalam penjabaran dan operasionalisasi pokok-pokok isi ajaran agama Islam, dan harus diluruskan kembali.[37] Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi studi agama Islam. Salah satu alternatif pemecahan yang dapat dilakukan dan diupayakan dalam studi Islam adalah mengkaji dan memahami Islam melalui pendekatan filosofis.
Untuk membawa pendekatan filosofis dalam tataran aplikasi kita tidak bisa lepas dari pengertian pendekatan filosofis yang bersifat mendalam, radikal, sistematik dan universal. Karena sumber pengetahuan pendekatan filosofis adalah rasio, maka untuk melakukan kajian dengan pendekatan ini akal mempunyai peranan yang sangat signifikan.[38] Dalam hal ini, penulis akan mencoba memaparkan contoh kajian keagamaan tentang puasa sebagai wadah kesucian dan tanggung jawab pribadi.
Puasa adalah sebutan yang telah umum, berasal dari bahasa Sanskerta upawasa. Orang Jawa biasa menyebutnya dengan pasa. Sejumlah suku atau masyarakat di Indonesia biasa menyebut puasa juga.[39] Menurut Al-Qurthubi, puasa ialah “bersikap pasif dari melakukan sesuatu”. Dalam banyak pengertian, puasa diartikan pula “tidak bergerak sama sekali, tidak bertiup, tenang di tempatnya, tidak makan, tidak minum dan lain-lainnya, seperti yang berlaku pada binatang, angin, tumbuh-tumbuhan, dan manusia.[40]
Sementara itu shaum menurut terminologi yang lazim yakni seperti yang diungkapkan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah nya bahwa shiyâm adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dan disertai dengan niat.[41] Sedangkan definisi yang sedikit berbeda disebutkan oleh Taqiyuddin Abu Bakar dalam kitabnya Kifâyah al-Akhyâr bahwa shaum adalah menahan diri yang tertentu, oleh orang yang tertentu dalam waktu yang tertentu dan dengan syarat-syarat yang tertentu pula.[42]
Banyak hadist yang menyebutkan dan menjelaskan perihal keutamaan ibadah puasa. Sebuah hadist menuturkan tentang adanya firman Tuhan (dalam bentuk hadist Qudsi); “Semua amal seorang anak adam (manusia) adalah baginya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang akan memberinya balasannya”.[43] Sehubungan dengan hal ini, Nucholish Madjid menjelaskan bahwa salah satu hikmah ibadah puasa ialah sifatnya yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Antara puasa yang sejati dan yang palsu hanyalah bedanya, misalnya seteguk air yang diminum oleh seseorang ketika ia berada sendirian.[44]
Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Tuhan yang Maha Hadir (Omnipresent), dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap segala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan nyata akan makna firman bahwa “Dia (Allah) itu bersama kamu dimanapun kamu berada, dan Allah itu maha mengawasi akan segala sesuatu yang kamu perbuat”.[45] Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; maka kemanapun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah”.[46] Dan lainnya.
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa kesadaran yang sedalam-dalamnya akan kemaha Hadiran (omnipresent) Tuhan inilah yang melandasi ketakwaan atau merupakan hakikat ketakwaan itu sendiri. Dan yang membimbing seseorang ke arah tingkah laku yang baik dan terpuji. Dengan begitu dapat diharapkan ia akan tampil sebagai pribadi yang berbudi pekerti luhur, berakhlak karimah.[47]
Pada hakikatnya, puasa adalah suatu ibadah yang dimensi kerahasiaan atau keprivatan (privacy) yang amat kuat. Dari situ juga dapat ditarik pengertian bahwa puasa adalah yang pertama dan utama merupakan sarana pendidikan tanggung jawab pribadi. Ia bertujuan mendidik agar kita mendalami keinsyafan akan Allah yang selalu menyertai dan mengawal kita dalam setiap saat dan tempat.

F.        Penutup
Mengkaji Islam tidak cukup dengan mempelajainya secara sepotong-sepotong saja. Islam sebagai kajian ilmiah harus dipelajari dengan pendekatan atau metodologi yang tepat secara utuh dan komprehensi. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkaji dan memahami Islam adalah pendekatan filosofis.
Memahami Islam dengan sudut pandang kefilsafatan dimaksudkan untuk dapat melihat suatu permasalahan yang ada dalam Islam dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan metode analisis-spekulatif. Sehingga pada gilirannya Islam sebagai sebuah agama yang berisi nilai-nilai,  ajaran-ajaran, prinsip-prinsip, norma-norma hidup yang bersifat manusiawi dan universal dapat dipahami dengan baik dan benar.
Semangat untuk berpikir dan berfilsafat ternyata juga didukung oleh ajaran Islam itu sendiri. Hal ini tampak bagaimana ragam gaya bahasa al- al-Qur’an untuk menggambarkan aktivitas berpikir, seperti ‘aqala,   nazhara, tadabbara, tafakkara, dan lain sebagainya. Disamping itu juga, filsafat sebagai sebuah pendekatan memiliki karakteristik yang asasi dan prinsipil yakni bersifat logis, metafisis, epistemologis, dan etika.
Daftar Bacaan

Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, Semarang: Toha Putra, 1988.
al-Husaini, Taqiyuddin Abubakar, Kifayah al-Akhyâr fî jal ghâyah al-Ikhtishâr, Terj. Syarifuddin Anwar, dkk, Surabaya: Bina Iman, 2007.
al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyrî’ wa Falsafatuhu 2 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
al-Qurthubi, Abu Abdillah, Tafsir Jami’ al-Bayan, Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1952.
Anwar, Rosihon, dkk, Pengantar Studi Islam, Cet I, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Jakarta: RajaGrafindo Persada,  2007.
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Connoly, Peter (Ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: Lkis, 2009.
Daradjat, Zakiyah, dkk., Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Erlan Muliadi, Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam, http://erlanmuliadi.blogspot.com/2011/04/pendekatan-filosofis-dalam-studi-islam.html. Diakses pada 27 Februari 2014.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hazier Ika Silvia Marlina, Pendekatan Filosofis dalam Pemikiran Pendekatan Islam.http://apanatschkers.wordpress.com/2012/11/05/pendekatan-filosofis dalam pemikiran-pendekatan-islam/. Diakses pada 27 Februari 2014.
Hick, John, Philosophy of Religion. Edisi 3, Englewood Cliffs N.J: Prentice-Hall, 1983.
Kasmadi, Hartono, dkk., Filsafat Ilmu, Semarang: IKIP Semarang Press, 1990.
Madjid, Nucholish, Dialog Ramadhan Bersama Cak Nur, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000.
Muhaimin, dkk., Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2007.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
                                    , Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fath  al-I’lam al-‘Araby, 1997.
Saebani, Beni Ahmad, Filsafat Ilmu; Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-beluk, Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Sismono, H.M., Puasa pada Umat-umat Dulu dan Sekarang, Jakarta: Republika, 2010.
Suriasumantri, Jujun. S., Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: PT. Gramedia, 1981.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2007.




[1]Lihat Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam, Cet I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 71.
[2]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm.27. Lebih lanjuta Abuddin Nata menjelaskan bahwa tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis-normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
[3]Menurut Zakiah Daradjat bahwa kenyataan ini merangsang timbulnya minat para ahli untuk mengamati dan memperlajari agama, baik sebagai ajaran yang diturunkan melalui kewahyuan maupun sebagai bagian dari masyarakat. Minat orang untuk mengamati dan mempelajari agama itu didasarkan atas anggapan dan pandangan bahwa agama merupakan sesuatu yang berguna (fungsional) bagi kehidupan pribadinya dan untuk menusia. Akan tetapi, juga ada yang didasarkan atas pandangan yang negatif dengan anggapan yang sinis terhadap agama karena agama baginya merupakan khayal, ilusi, dan merusak masyarakat. Lihat Zakiyah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 37.
[4]Dengan cara dan pendekatan semacam itu, berarti terjadi pemahaman ulang  (reinterpretasi) terhadap Islam, sebagaimana yang dipahami secara konvensional selama ini, yang pada gilirannya akan terhapuslah citra islam yang dianggap statis, stagnan, dan ketinggalan zaman serta tidak fungsional lagi di tengah-tengah kemajuan Iptek serta perkembangan budaya dan peradaban modern. Selanjutnya dengan studi ulang tersebut akan terbentuk gambaran dan pemahaman yang baru tentang Islam yang bersifat dinamis dan fungsional menghadapi tantangan dan tuntutan perkembangan zaman. Dengan citra barunya itulah Islam akan mampu menghadapi sistem budaya modern yang melanda dunia Islam di era globalisasi dan informasi saat ini. Bahkan dengan misinya sebagai rahmatan li al-‘alamin, Islam berpotensi kuat untuk memberikan alternatif pemecahan permasalahan dunia modern. Lihat Muhaimin, dkk., Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 7
[5] Menurut sejarah, Phytagoras (572-497 SM) adalah orang yang pertama kali memakai kata philosophia. Ketika beliau ditanya apakah ia sebagai orang yang bijaksana, maka ia dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai philosophos, yakni pencinta kebijaksanaan (lover of wisdom).
[6]Ada dua arti secara etimologik dari filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philein dan sophos, maka artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana dimaksudkan sebagai kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan sophia, maka artinya adalah teman kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan sebagai kata benda). Lihat Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 2007), hlm. 18. Lihat juga Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 7.
[7] Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 3. Tampaknya Harun Nasution konsisten dengan pendapatnya bahwa istilah filsafat yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu, dia menggunakan kata ‘falsafat’ bukan filsafat. Buku-bukunya mengenai ‘filsafat’ dia tulis dengan falsafat, seperti Falsafat Agama, dan Falsafat dan Mistisisme dalam Islam.
[8] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), hlm. 155.
[9] Abu Ahmadi, Filsafat Islam, (Semarang: Toha Putra, 1988), hlm. 8
[10] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. II, hlm. 15
[11] Harun Nasution, Falsafat Agama........hlm. 3
[12]Perbedaan definisi yang diberikan oleh para tokoh di atas karena perbedaan pandangan mengenai fungsi filsafat pada setiap tokoh. Lagi pula latar belakang mereka tidak sama, sehingga wajar jika kesimpulan mereka berbeda. Perbedaan itu bisa terjadi karena beberapa ilmu-khusus memisahkan diri dari filsafat, sehingga ilmu-khusus itu memiliki pengertian sendiri tentang filsafat, seperti filsafat hukum, filsafat agama, filsafat ekonomi dan lain-lain. Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,  2007), hlm. 9.
[13] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam.......hlm. 43.
[14] Muhaimin, dkk., Kawasan dan Wawasan.......hlm. 13
[15] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam.......hlm. 45
[16] Hazier Ika Silvia Marlina, Pendekatan Filosofis dalam Pemikiran Pendekatan Islam. http://apanatschkers.wordpress.com/2012/11/05/pendekatan-filosofis dalam pemikiran-pendekatan-islam/. Diakses pada 27 Februari 2014.
[17] Ibid.,
[18] Muhaimin, dkk., Kawasan dan Wawasan.......hlm. 306.
[19] Dengan mengutip pendapatnya Ibnu Mazhur dalam kitabnya Lisân al-‘Arab, Harun Nasution menjelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr berarti menahan dan al-‘âqil yaitu orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu ‘yabhasu’. Seterusnya diterangkan pula bahwa al-‘aql juga mengandung arti kalbu (al-qalb). Dan kata ‘aqala juga berarti memahami atau mengerti. Arti asli dari kata ‘aqala kelihatannya adalah mengikat dan menahan. Orang yang ‘âqil di zaman Jahiliyah yang dikenal dengan hamiyyah atau panas darahnya adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya ia dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Lebih lanjut lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 6-7.
[20] Jujun. S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hlm. 52. Secara lebih lanjut, Jujun menjelaskan bahwa pada intinya berpikir adalah suatu perkembangan idea dan konsep.
[21] Harun Nasution, Akal dan Wahyu.......hlm. 39-44.
[22] Semua bentuk ayat-ayat tersebut mengandung anjuran, dorongan bahkan perintah agar manusia banyak berpikir dan menggunakan akalnya. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam sangat menganjurkan, mendorong, dan bahkan memerintahkan kepada pemeluknya supaya menggunakan rasio (akal), atau berfilsafat dalam memahami ayat-ayat Allah baik yang qauliyah (tertulis, teks) maupun kauniyah (fenomena natur).
[23]Ayat dalam arti tanda kemudian dipakai terhadap fenomena natur yang banyak disebut dalam ayat kauniyah, ayat tentang kejadian atau tentang kosmos. Tanda itu harus diperhatikan, dipikirkan, dan direnungkan untuk mengetahui arti sesungguhnya yang terletak dibelakangnya. Pemikiran mendalam (radiks) tentang tanda-tanda tersebut membawa kepada pemahaman tentang fenomena-fenomena alam itu sendiri dan akhirnya membawa kepada keyakinan kuat tentang adanya Tuhan sang pencipta alam dan hukum alam (sunnatullah) yang mengatur perjalanan alam. Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu.......hlm. 46-47.
[24] Lihat John Hick, Philosophy of Religion. Edisi 3, (Englewood Cliffs N.J: Prentice-Hall, 1983), hlm. Pengantar.
[25] Peter Connoly (Ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 170.
[26] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu.......hlm. 32.
[27] Lebih lanjut, Ahmad Saebani mengungkapkan bahwa untuk berpikir lurus, tepat, akurat, sehat dan kuat, logika menyelidiki, merumuskan serta menetapkan hukum-hukum yang harus ditepati. Oleh karena itu, logika ada;ah kecakapan dan keterampilan berpikir. Berpikir yang dimaksud adalah berpikir yang lurus, yang diselidiki ketepatan dan akurasinya. Lihat Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu; Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-beluk, Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 72-73.
[28] Lihat Hartono Kasmadi, dkk., Filsafat Ilmu, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990), hlm. 45.
[29]Istilah ini pertama kali digunakan tahun 60 SM oleh filsuf Yunani Andronicus. Metafisika terkait dengan hal yang paling dasar, pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan, eksistensi, dan watak ada (being) itu sendiri, secara literal metafisika berarti kehidupan, alam, dan segala hal. Metafisika mengemukakan pertanyaan tentang apakah sesungguhnya aku, sebagai seorang pribadi, apakah aku tubuh materil, otak yang akan berhenti dari keberadaannya ketika mati? Dan seterusnya. Lihat Peter Connoly (Ed.), Aneka Pendekatan....hlm. 173.
[30] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu.......hlm. 31. Persoalan-persoalan metafisis dibedakan menjadi tiga yaitu; Pertama,. Persoalan ontologi diantaranya; (1) apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan, atau eksistensi itu; (2) bagaimana penggolongan (klasifikasi) dari ada, keberadaan atau eksistensi?; (3) apa sifat dasar (nature) kenyataan atau keberadaan. Kedua, persoalan kosmologis (alam) berkaitan dengan asal-mula, perkembangan dan struktur atau susunan alam. Ketiga, persoalan antropologi (manusia) diantaranya; (1)bagaimana hubungan jasad dan jiwa; (2) apa itu kesadaran?; dan (3) manusia sebagai mahluk bebas atau tak bebas?.
[31] Hartono Kasmadi, dkk., Filsafat Ilmu......hlm. 13.
[32] Istilah epitemologi ini pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 dalam bukunya yang berjudul Institute of Metaphysics.
[33] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu.......hlm. 32.
[34] Harun Nasution, Falsafat Agama........hlm. 7.
[35] Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Lihat Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu.......hlm. 33.
[36] Peter Connoly (Ed.), Aneka Pendekatan....hlm. 175.
[37] Muhaimin, dkk., Kawasan dan Wawasan.....hlm. 10.
[38]Erlan Muliadi, Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam, http://erlanmuliadi.blogspot.com/2011/04/pendekatan-filosofis-dalam-studi-islam.html. Diakses pada 27 Februari 2014.
[39] Dalam kitab-kitab Hindu/Buddha kita jumpai sebutan vassa (dari  bahasa Pali), yang maksudnya adalah puasa. Puasa juga biasa disebut shaum/shiyâm (Arab), fasting (Inggris), onthauding (Belanda), yang diartikan “hal berpantang” (abstinance), yakni menahan dan memantangkan diri dari sesuatu hal, seperti makan, minum, berhubungan seks, bercakap-cakap, keluar rumah, bekerja, berburu, berbuat sesuatu dan sebagainya. Lihat H.M. Sismono, Puasa pada Umat-umat Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Republika, 2010), hlm. 2.
[40] Lihat Abu Abdillah al-Qurthubi, Tafsir Jami’ al-Bayan, (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1952), hlm. 649.
[41] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fath  al-I’lam al-‘Araby, 1997), hlm. 487.
[42] Taqiyuddin Abubakar al-Husaini, Kifayah al-Akhyâr fî jal ghâyah al-Ikhtishâr, Terj. Syarifuddin Anwar, dkk, (Surabaya: Bina Iman, 2007), hlm. 204.
[43] Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyrî’ wa Falsafatuhu 2 Jilid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 228.
[44] Nucholish Madjid, Dialog Ramadhan Bersama Cak Nur, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000), hlm. 8.
[45] QS. al-Hadid: 4
[46] QS. al-Baqarah: 115
[47] Nucholish Madjid, Dialog Ramadhan....hlm. 9

Komentar

Postingan populer dari blog ini

الكتابة: مفهومها وخصائصها ونشأتها وأنواعها

PENYUSUNAN BAHAN AJAR BAHASA ARAB

LINGUSTIK MODERN: Perkembangan, Aliran, Tokoh, dan Karakteristiknya